Minggu, 03 Februari 2013

cerpen love

Love is smile. :)
Love is tear. :'(
Love is little light in the darkness.
Love is little hope in the illness.
Love is when you feel can standing right here when rain drops, with little pieces of heart just because you know, everythings are possible.
You might believe something you want to..

Pertahanan yang telah Karina Virgia bangun sedemikian rupa bisa runtuh dalam hitungan detik di depan Kevin Aditya, lelaki bertubuh jangkung dengan rambut spike yang sosoknya selalu ada untuknya. Seumur hidup, ia tidak pernah secengeng ini didepan siapapun. Karena bagi Karin, menunjukkan air mata di depan orang lain itu sama saja dengan menunjukkan sisi lemahnya yang seharusnya tidak diketahui oleh siapa pun. Sebuah prinsip bodoh yang ia pegang teguh, di mana ia berjanji hanya di depan bintanglah ia akan menumpahkan segala air mata dan keluh kesahnya. Di depan bintang yang ia yakini, di sanalah sang mama sedang mengawasi. Setiap harinya, bersanding bersama sang dewi malam. Namun prinsip itu seakan-akan runtuh dengan begitu mudahnya kali ini, bersama butiran air bening yang mengalir turun membelah pipi tirusnya. Lagi-lagi, dengan tenang dan perlahan, kelima jari Aditlah yang menghapus butiran bening yang jatuh itu. Di mana hanya di tangan lelaki itu ia serahkan air mata beserta seluruh kehampaan di dalamnya.

Begitu juga dengan Adit, seolah-olah, rasa sedih itu ingin bisa ia pindahkan ke tangannya. Betapa ingin ia menopang sendiri rasa sedih yang dirasakan gadis itu, atau paling tidak, membantunya menopangnya bersama. Ia tidak ingin gadis yang sangat berarti baginya itu menanggung segala kesedihan itu seorang diri. Karena, hanya gadis itulah yang mampu membuatnya membuka mata, mampu membuat kebekuan hatinya perlahan mencair. Setelah sekian lama.

Detik ini. Mereka berdua. Merasakannya, bersama.

Bukan untuk yang pertama kalinya, seluruh perhatian Adit terkunci rapat pada wajah sendu yang sepucat kertas milik gadis itu. Seakan-akan gadis itu mampu menyita seluruh perhatian beserta kesadarannya.

Karin masih merasakannya. Tangan itu, ia yakin tangan seorang malaikat yang dikirimkan Tuhan dari surga sebagai pertanda akhir penantiannya. Malaikan yang dikirimkan Tuhan melalui sosok Kevin Aditya. Namun lagi-lagi, itu tidak semudah yang ia kira. Meski tangan itulah yang sering kali merengkuhnya dalam dekapan yang mampu membuatnya merasa aman dari segala ancaman, tangan itu juga yang selalu menghapus habis segala kepedihannya, tangan itu pula yang selalu menempatkan diri dengan suka rela menjadi perisai di depannya, tanpa syarat, Karin yakin, ada satu lagi yang menjadi penghalang. Meski perasaan itu telah berkembang tanpa mampu ia hentikan. Perasaan yang tumbuh dengan liar hingga menyeruak memenuhi setiap inci sudut hatinya. Perasaan indah yang nyatanya begitu menyakitkan bagi siapa saja yang sedang berada dalam posisi yang sama seperti dirinya. Saat ini.

Karena, satu lagi penghalang yang nyata, Andi Leonard, kakaknya sekaligus bagian dari masa lalu Adit. Dengan alasan yang begitu kuat, dengan ego yang terlampau besar, dan segelintir kisah 2 tahun silam, yang menjadikan "Karin dan Adit", adalah sebait cerita romansa yang "mustahil". Kini, waktu melahirkan Andi sebagai tokoh penentang yang benar-benar nyata bagi mereka. Yang mengharuskan mereka tetap berada di sisi yang berbeda. Yang mengharuskan mereka terkurung dalam penantian dalam dimensi waktu, yang suatu saat nanti mungkin akan mengasihani mereka, dan melepaskan belenggunya sekedar untuk membiarkan mereka untuk tetap bersua.

Mereka bersama, tapi terpisah. Mereka mencintai, tapi dipaksa untuk saling membenci.
Sebuah kenyataan yang benar-benar telak, namun tetap sederhana kalau perasaanlah yang berbicara.
Memang tak serumit kisah Chleopatra dan Mark Anthony, tak sena'as kisah Abigail dan John Adams, dan tak seindah dongeng Shakespeare Romeo dan Juliet, namun... Mereka punya kisah mereka sendiri, mereka punya perasaan yang sama-sama layak untuk diperjuangkan, hingga mampu bermuara pada akhir yang nyata. Bersatu, atau mungkin tidak sama sekali. -..-"

"biar gue ke Andi ya.. gue bakal jelasin ke dia." bisik Adit sarat dengan keputus asaan. Karin tau, cowok itu sama lelahnya dengan dirinya, lelah dengan keadaan ini, lelah dengan semua omong kosong yang menjadikan mereka terbentang oleh jarak.
Namun lagi-lagi, bayangan Andi yang pernah menghajar Adit tanpa ampun, seolah-olah mengunci Karin pada keputusan pasti bahwa Adit dan Andi tidak boleh bertemu lagi. Ia tidak ingin yang minggu lalu itu terjadi lagi.
"nggak usah.. Kakak gue itu keras kepala Dit. Sama aja lo bunuh diri kalo' lo nemuin dia."
"sama keras kepalanya kayak elo kan..?" dengan wajah sekarat itu, Adit masih mencoba mengucapkan lelucon kecil supaya wajah pucat di depannya itu bisa sedikit membersitkan sebuah senyuman. Meski ia tau, untuk Karin, sekedar tersenyum saja sudah cukup susah setelah semua yang telah ia lalui.
Dan benar saja, hanya helaan nafas tertahan yang bisa ia lihat sebagai reaksi leluconnya yang sama sekali tidak membantu.

Seperempat detik kemudian, mobil Audi R8 hitam yang dihiasi spotlight biru menyala mendarat dengan dramatis tepat di depan keduanya setelah membuat gerakan manuver tajam.
Otak Adit yang bekerja cukup cepat dengan mengenali siapa pemilik mobil itu langsung menggenggam jemari Karin yang beranjak mendingin. Kelima jari Adit lalu menuntun Karin untuk ke balik punggungnya. Mencoba melindungi gadis itu sebelum sang pemilik mobil keluar dan mengamuk untuk yang kesekian kalinya.

"Rin..!! Cepet masuk mobil..!" perintah cowok berparas campuran Asia-Jerman dengan lensa mata gradasi antara cokelat dan hitam, yang baru saja membanting pintu mobil Audi itu. Lensa mata yang indah itu terlihat sangat menakutkan saat berkilat marah.
Sementara genggaman kelima jari Adit semakin menguat. Seakan-akan gertakan Andi semakin membuat nyala api dalam dirinya semakin membara, menyertai tekadnya yang semakin besar untuk memperjuangkan gadis itu. Di belakang Adit, Karin masih tampak terpengkur, antara sadar dan tidak sadar. Matanya memandang kosong ke depan dengan wajah pucat yang belum berubah sejak awal. Wajah itu justru semakin pucat menyadari sosok Andi yang datang dengan letupan emosi yang begitu besar.

"cepet masuk mobil kalo' lo nggak pengen liat kita berantem lagi..!" gertakan yang lebih keras dan sarkatis baru saja terlontar dari mulut Andi. Membuat Karin terkesiap. Keteguhannya seakan-akan goyah. Lantas, gadis itu melepaskan jemari Adit dengan paksa namun dengan sangat perlahan pula. Karena sebenarnya, hatinya tak lagi sejalan dengan rasionya. Di pandangnya wajah yang sempat menautkan alis itu dengan sayu. Seakan-akan kedua lensa mata hitam pekat itu, menyuruh Karin untuk tetap di tempat. Di belakangnya. Di mana tempat itulah yang menjadi tempat yang paling aman untuknya saat ini.

Namun usaha Adit tak berhasil. Karin mulai melangkah gamang mencapai pintu depan Audi hitam itu. Sementara matanya masih mengawasi ke arah dua orang pemuda yang kini saling melayangkan tatapan mematikannya.

"biar gue jelasin semuanya.." ucap Adit sarat dengan penyesalan.
"jelasin..? Apa lagi yang mau lo jelasin.. Lo tuh kalo' playboy ya playboy aja, gak usah pake' ngelibatin adek gue segala. Inget gimana waktu lo dengan seenaknya ngerebut Vera yang waktu itu jelas-jelas statusnya adalah pacar gue..? Terus dengan seenaknya lo tinggalin gitu aja." terang Andi dengan gusar. Kelima jarinya tertarik kedalam dengan kuat membentuk dua kepalan besar yang siap melukai Adit kapan saja.
"kenyataannya emang gue gak cinta sama Vera Ndi.. Gue nerima dia cuma atas dasar kasihan dan juga, elo maksa gue kan waktu itu. Lo bilang lo cinta sama dia, jadi lo pengen dia bahagia meskipun di atas penderitaan lo sekali pun. Dan sekarang, lo numpahin seluruh kesalahan itu ke gue. Di mana otak lo..? Gimana jalan pikiran lo..?" perkataan Adit seakan-akan menyiksa Karin dalam keputus asaannya. Hingga gadis itu masih tertegun, terpaku di depan pintu mobil dengan mata yang mulai basah karena lagi-lagi air bening itu keluar tanpa di suruh. Namun kali ini, tak ada jemari Adit yang bisa menghapusnya, karena Karin tau, ada yang lebih penting yang harus cowok itu lakukan. Menjelaskan semuanya.

Andi menatap Adit jengah. Seakan-akan penututran Adit tak lagi berarti baginya. Rahangnya terkatup kuat-kuat saat otaknya mulai memutarkan sebuah memori silam akan kisah antara dirinya, Vera, dan juga Adit, yang pernah sempat menjadi sahabatnya dulu. Kala SMA. Sebelum semuanya berubah, sebelum Adit membuat kesalahan itu.
Buru-buru Andi menyadarkan diri dan menarik jiwanya dari pengembaraan masa lalu. Dilihatnya lagi lelaki yang berdiri di depannya dengan lekat.
"bulshit lo.. Sok berhati malaikat kalo' di depan adek gue." Andi mulai menggila. Cowok itu menarik kerah kemeja Andi hingga punggung cowok itu terantuk kap mobil dengan keras. Berkali-kali ia layangkan pukulan demi pukulan ke perut cowok itu tanpa ampun. Dan yang membuat Karin gusar dan menolak untuk tetap diam adalah karena Adit menerima setiap pukulan itu. Adit tak pernah mencoba untuk menghindar meskipun Karin yakin, Adit bisa melakukannya. Adit bisa saja melukai Andi dengan sangat mudah. Namun kenapa ia hanya diam. Seolah-olah ia memang pantas menerima perlakuan itu. Apa yang ada di pikiran Adit sekarang..? Melihat semua itu, tentu saja Karin tidak akan tinggal diam dan menunggu lelaki yang ia cintai mati di tangan kakaknya sendiri. -_-

"kak Andi..!! Udah, berhenti..!" Karin mencoba merentang jarak antara keduanya.
Kehadiran Karin di tengah mereka justru membuat Andi semakin kalap. Cowok itu semakin melayangkan pukulan demi pukulan dengan membabi buta.
Hingga sebuah pukulan, tidak sengaja membuat Karin tersentak dan terhuyung ke belakang. Namun beruntung, lengan Adit yang kokoh dengan cepat meraih pinggang Karin, hingga cewek itu tidak sampai mendarat membentur permukaan aspal yang keras.
Situasi yang panas itu sontak membeku. Adit dan Karin masih tetap bertahan pada posisi itu. Keduanya, sama-sama terluka. Saling memeluk dan mencoba menopang satu sama lain. Benar-benar seperti potongan sebuah film romantis.
Mata elang Andi semakin berkilat marah. Bagi Andi, sebuah cinta tidak akan pernah layak untuk seorang Adit yang jelas-jelas sudah pernah menghancurkan hati puluhan wanita. Dan ia tidak ingin, adiknya akan menjadi korban selanjutnya.

"sialan lo Dit..! Lepasin adik gue..!" dengan paksa, Andi menarik Karin dari dekapan cowok itu.
Dan dengan gerakan cepat, lagi-lagi Andi menghujamkan kepalan tangannya ke arah Adit.

Hati Karin benar-benar terluka kali ini. Umpatan-umpatan kekesalan yang kini berkutat di otaknya, tak tau harus ia tumpahkan kepada siapa.
"udah kak.. Kasihan Adit.. Gue bakalan turutin semua kemauan lo.. Tapi tolong, berhenti..!!" jerit Karin tertahan. Gadis itu terisak seraya menarik lengan kakaknya. Berusaha menghalau tangan atletis itu supaya berhenti memukul. Namun, tentu saja usahanya tak membuahkan hasil yang berarti. Kekuatan Karin memang tidak diciptakan Tuhan untuk bisa melawan cowok yang besarnya nyaris dua kali lipatnya itu. Sebesar apapun usahanya untuk membuat Andi berhenti, rasanya tidak akan pernah benar-benar berhasil. Karena untuk membuat Andi bergeser sedikit saja, sudah hampir menguras habis seluruh nyawanya. Dan untuk yang kesekian kalinya, lagi-lagi Karin tersentak cukup kuat ke belakang. Namun kali ini, tidak lagi sama. Kejatuhan itu tidak seberuntung kejatuhan awal. Karin terhunyung bersamaan dengan sebuah sedan putih yang melaju ganas di badan jalan.
Sorotan lampu, dengungan klakson, dan decitan rem yang mengiringi teriakan seorang cowok yang memanggil namanya dengan jeritan keras adalah hal terakhir yang ia rasakan sebelum semuanya berubah menjadi gelap, gelap, dan sunyi. Seakan-akan kehampaan menelannya hidup-hidup.

Kini, semua itu... Tak lagi berarti.. Ini adalah sebuah ujung, sebuah muara yang merupakan jarak yang terbentang sangat nyata di antara mereka.

"Karin..!" hati cowok itu berdarah, bersama gadis yang ia cintai yang kini terbaring lemah dengan bersimpah darah pula. Kedua tangannya menopang tubuh lunglai itu. Mencoba menunggu, apabila sewaktu-waktu mata indah itu akan terbuka lagi, dan mengijinkannya untuk merengkuh tubuh sekaligus jiwanya, untuk yang terakhir kali. Di tengah tetesan air hujan, yang kini menghujamkan kristal-kristal cairnya yang begitu tajam tanpa ampun. Butiran bening yang mengalir jatuh dari langit itu, mampu menyapu bersih darah yang tampak menghiasi wajah yang tertidur tenang itu. Membuat Adit mampu melihat wajah manis itu dengan cukup jelas. Untuk yang terakhir kalinya.

Tersisalah seorang lelaki dengan keegoisan besar itu, yang terbunuh oleh sebuah penyesalan. Kini, ia menangis. Sebuah tangisan penyesalan yang menjadikannya begitu rendah di mata cinta. Dia bukan siapa-siapa, namun ia berani menentang keduanya.

Segala penyesalan itu, segala air mata itu, tak akan pernah mampu membuat gadis itu bangun kembali.. Untuk selamanya.. Sampai suatu saat nanti, di mana Tuhanlah yang akan mengambil alih segalanya.

It's the end.. But endless.. Cause love would live to someone who still believe.. About little thing which still alive although without soul. 

 

by: izzatul azzizah

cerpen the letters

Loving you is like a beautiful mistake. Cause i can feel two different thing at once. Happiness, and sadness.. Happy cause i know how is loving. And sad because i just can admiring, no more..

Langit jingga terbersit jauh di depanku. Pasti malam sudah mengembang di tempat lain. Aku terhenyak, segera kukenali kalau ini adalah mimpi. Tempat ini, adalah tempat yang sangat kurindukan. Bukit-bukit dengan bunga edelwise, bau rerumputan basah, pohon oak besar yg berdiri kokoh di puncak bukit tertinggi.
Tak butuh waktu lama untuk mengingat tempat ini, tempat terakhirku bertemu dengan Julian, pemuda yang sangat kukagumi di dunia nyata.

Aku melangkah gamang menapaki jalan setapak berkelok yang berujung di puncak bukit. Samar-samar pandanganku menangkap sebuah bayangan pemuda jangkung yang tengah memusatkan perhatiannya pada jingga di ujung langit sana. Seperti yang terakhir kali kutemui, pemuda itu masih mengenakan celana jeans dengan kemeja biru yang lengannya dilipat hingga ke siku. Ia masih tampak mempesona seperti dulu. Yah, ia adalah Julian. Pemuda yang hanya bisa kudekati melalui mimpi. Dan nyaris tak bisa kusentuh di dunia nyata.

Angin sore menerbangkan anak rambutnya yang membaur dengan kilauan jingga itu. Perlahan, ia menoleh. Menampilkan senyuman tipisnya yang membuatku merasa yakin bahwa Julian yang ini dengan yang nyata adalah orang yang berbeda. Sama sekali bukan orang yang sama.

"hei... Sudah lama kau tidak datang. Kemana saja..?" sapanya ramah seraya berpaling mengabaikan langit indah itu dan beralih memperhatikanku.
"maaf, sebenernya aku selalu ingin kemari. Tapi... Entahlah, hal ini tidak datang setiap hari." aku berucap ragu.
Bisa-bisanya pemuda itu tersenyum. Benar-benar senyuman sederhana yang mampu melumpuhkan lutut setiap gadis yang melihatnya. Tak terkecuali aku sendiri. Tapi bukan itu yang membuatku kagum dan melihat Julian adalah sosok yang berbeda. Aku melihat hatinya di sana. Meski ia lebih sering bersikap dingin pada siapa pun, aku tau.. Julian memiliki sisi baik di sudut hatinya. Hanya saja ia terlihat enggan menampilkannya. Dan, yang kubicarakan itu adalah Julian yang ada di dunia nyata. Yang sama sekali berbeda dengan Julian yang sekarang, yang ada di depanku. "sudahlah. Tak apa... Yang penting kau ada di sini sekarang. Aku sangat merindukanmu." Julian menghadiahkanku sebuah dekapan hangat. Ini adalah hal terbaik yang pernah kuterima, dimana aku bisa merasakan irama detak jantungnya yang bagaikan melodi indah.
"lihat.. Aku merangkai mahkota edelwise untukmu.." Julian mengayunkan sebelah tangannya yang menggenggam benda yang ia maksud. Mahkota edelwise yang sangat manis.
"kau membuatnya untukku..?"
"tentu saja.." Julian yang ramah memasangkan mahkota itu di puncak kepalaku. Lalu, ia menampilkan senyuman tipisnya lagi.
"hei lihat..! Kau begitu cantik." mendengar itu, justru bukan kesenangan yang kudapatkan, hatiku justru sesak akan itu, karena aku tau... Dia adalah Julian yang lain, yang hidup dan mati dalam imajinasiku, yang kubentuk sedemikian rupa untuk mengusir kesepianku. Dia adalah Julian yang sifatnya bertolak belakang dengan Julian yang ada di dunia nyata.
"kenapa ? Kau tidak suka dengan mahkotanya ?" Julian menatapku bingung, lengkap dengan wajah muramnya.
"ehm.. Tidak, aku sangat menyukainya. Terima kasih, ini hal terindah yang pernah kudapatkan."
Julian terlihat mengulum senyum mendengar ucapanku. Sebentar kemudian, tatapannya beralih pada langit yang membentang di atas kami. Awan perlahan perlahan berarak membelah senja.
"matahari terbenam akan terhalang oleh mendung.." lirihnya. Nada bicara Julian sarat akan kekecewaan. Bisa kulihat juga sinar matanya yang kian redup.
"ya, tapi kita bisa melihatnya lagi di lain waktu." ucapku mencoba menghibur seraya tersenyum semanis mungkin.
"namun aku harus menunggu lama sampai kau kesini lagi."
Aku terdiam. Tertegun. Merasa senang sekaligus sedih. Andai Julian yang di depanku sekarang adalah Julian yang nyata, Julian yang selalu kuharapkan kehangatannya. Andai Julian yang nyata lah yang mengatakan itu. Tapi rasanya itu tidak mungkin. Julian yang nyata bahkan tak pernah mengharapkan kehadiranku.
"kalian sangat berbeda." aku bergumam pelan seraya mencoba tidak menampilkan kesedihanku di depan Julian.
"maksudmu..?" pemuda bergaris wajah tegas itu tampak tidak mengerti. Yah, aku bisa melihatnya dari sorot matanya yang penuh tanda tanya.
"kau sangat berbeda dengan yang ada di dunia nyata.."
"kenapa begitu..? Bukankah ini dunia nyata..?" Julian menuntunku untuk duduk bersandar pada pohon oak besar yang menjadi tempat terbaik kami selama menghabiskan sore seperti hari-hari yang lalu. Julian masih tampak setia menunggu jawabanku. Matanya yang teduh begitu menusuk menghangatkan sore yang dingin ini.
"tidak julian, ini hanya mimpi.. Kau hidup di dalam mimpiku.. Kau yang nyata begitu dingin, begitu susah kudekati." ucapku dengan memaksakan sebuah senyuman.
"benar begitu..?" Julian masih tampak bingung. Dan aku pun yakin, penjelasan sepanjang apa pun tidak akan pernah bisa membuatnya mengerti dan menyadari kalau ini hanya imajinasiku. Sama sekali bukan kenyataan.
"kenapa kau tidak menyuruhku berubah dan menjadi seperti apa yang kau inginkan..?" Julian tampak tidak sabar menungguku menjawab. Ada sedikit sorot kecemasan di mata teduhnya.
"andai aku bisa, akan kulakukan.." balasku seraya menengadahkan kepala, menyambut titik-titik air yang mulai berjatuhan dari langit. Sepertinya hujan tidak sabar menunggu kami menyelesaikan pembicaraan yang benar-benar menguras emosiku ini.
"lalu, apa yang bisa kulakukan..? Apakah aku yang nyata begitu keras kepala..?" lagi-lagi, Julian terlihat cemas. Sorot matanya yang kudapati begitu berbeda dengan aslinya begitu menganiayaku dalam rana penyesalan.
"kau tidak perlu melakukan apapun.. Kau cukup bertahan hidup saja dalam imajinasiku.. Aku tidak ingin kau hilang, dan pergi bersama waktu." rintik-rintik air yang kian rapat menyamarkan air bening lain yang mengalir dari sudut-sudut mataku. Sehingga aku bisa menyembunyikannya di depan Julian. Aku tidak ingin dia melihatku menangis. Saat-saat berdua dengan Julian adalah saat-saat yang istimewa. Tidak dapat kurasakan setiap hari. Dan aku sama sekali tidak ingin merusaknya.
"aku tidak ingin kau menjadi awan yang dengan mudahnya terhapus oleh hujan.. Jadilah matahari yang akan selalu menemaniku, meski pun tidak selalu dekat, aku tetap yakin kau akan tetap ada.. Sampai Tuhan menyuruhmu untuk berhenti terbit." ucapku lagi.
Kulihat Julian hanya terdiam. Aku tidak tau apa yang sedang ia pikirkan, namun yang kuyakini sekarang, Julian sedang memikirkan tentangku, tentang kami.
"tinggal lah di sini." Julian berucap lirih.
"aku tidak bisa.. Tempatku tidak di sini." ucapku hati-hati, takut kalau-kalau menyakiti hatinya.
Gestur-gestur hujan itu perlahan membuat bayangan Julian kabur, hingga menyisakan sebuah siluet samar yang mencoba untuk tetap bersuara. Menembus gemericik hujan yang kian lebat menghantam tanah.
"tunggu, tolong jangan pergi.. Aku ingin mengatakan sesuatu.. Kumohon..!" hanya itu yang terdengar, hingga suara lembut Christina Perri yang melantunkan lagu a thousand years menyeruak ke gendang telingaku. Membuatku sadar, kalau pengembaraan mimpiku telah berakhir. Aku mengerjap pelan. Kudapati ada air bening yang menggantung di sudut mataku. Aku tersenyum. Hah, mungkin sisa air hujan tadi.
Aku masih terdiam, belum ingin beranjak dari tempat tidurku. Anganku kembali melayang, mencoba meniti lagi bunga tidur indah itu. Begitu aku ingat jelas mimpiku barusan, aku langsung mengambil secarik kertas dan pena untuk menulisnya. Untukmu...

Aku hanya ingin kau tau. Melalui goresan tinta ini, cerita ini, dan harapan ini.

From: aku yang namanya tak penting untuk disebut. (Secret admirer)
To: someone who still alive in my dream.

Tangan pemuda yang menggenggam kertas notes berwarna putih tulang itu bergetar sedetik setelah menyelesaikan membaca suratnya. Pandangannya kosong menerawang jauh ke dalam memori. Apa yang dibacanya, seakan-akan pernah ia alami sebelumnya. Inikah yang disebut de javu ?
"hei Julian.. Kau sedang apa..?" seorang pemuda lain yang baru saja datang menepuk pundak kawannya terlampau keras. Nyaris membuatnya terjungkal karena terkejut.
"kau ingin menambah jumlah korban mati karena penyakit jantung hah..?" cercau pemuda yang masih disibukkan dengan surat misterius yang dibawanya itu.
"haha.. Maaf sobat. Aku tidak bermaksud.. Eh, hei apakah ini surat..? Dari mana kau mendapatkannya..? Manis sekali. Aku belum pernah mendapatkan surat seperti ini. Aku yakin ini pasti dari seorang gadis. Kemari, biar aku melihatnya.. Aku ahli dalam urusan ini." celoteh pemuda berambut spike itu seraya mengambil kertas yang dimaksud dari tangan Julian.
Julian hanya memutar bola matanya dramatis begitu mendengar penuturan sahabatnya yang begitu panjang.
"Rey.. tolong diam saja kalau kau tidak tau siapa yang meletakkan surat ini di lokerku." Julian berdecak malas.
Mata pemuda bernama Rey itu tampak memindai cepat tulisan yang berjajar rapi yang memenuhi kertas itu. Sebentar kemudian, sudut-sudut bibirnya mulai terangkat membentuk sebuah senyuman.
"aku memang tidak tau orang bodoh mana yang meletakkan surat ini di lokermu, namun sepertinya aku tau siapa yang menulisnya.." sekali lagi, Rey mengangguk penuh keyakinan.
***

"kau yakin dia yang menulisnya..?" Julian berucap ragu seraya mengawasi kampus fakultas ekonomi dari balik rerimbunan bonsai taman.
Rey yang berada di sebelahnya hanya mengangguk yakin. Dengan aba-aba ringan dari Rey, Julian akhirnya melompat keluar dan muncul tepat di depan seorang gadis berdandanan casual yang tengah memeluk buku diktat tebalnya. Kehadiran Julian yang secara tiba-tiba membuat gadis itu terkejut dan nyaris terhenyak kebelakang.
"apa kau mengenalku..?" tanya Julian bak seorang polisi yang tengah menginterogasi.
"aa..ku.. Ehmm.. Kk-kurasa semua orang mengenalmu.. Julian." gadis itu tampak gugup. Sementara Julian hanya mengangguk mengerti. Sepertinya pertanyaan itu memang tidak perlu di ucapkan. Semua orang pastinya mengenal dirinya, putra tunggal pemegang saham terbesar di kampus itu.
"kau yang menulis ini..?" lanjut Julian to the point seraya mengulurkan surat yang sedari tadi di bawanya.
Dan kali ini, mata gadis itu benar-benar terbelalak sempurna. Seakan-akan yang dilihatnya adalah sesuatu hal yang sangat menakutkan, atau lebih tepatnya sebuah rahasia yang seharusnya, penerimanya pun tidak mengetahui siapa pengirimnya.
"kenapa diam..?" nada datar Julian kembali menyeruak membelah keheningan. Entah gadis itu atau penghuni kampus yang berlalu lalang dan sengaja mendengar, mereka pasti akan merasa kalau memang begitulah Julian. Prince charming yang sikapnya begitu dingin. Namun kali ini orang-orang berlalu dengan tatapan yang berbeda padanya. Ini kali pertamanya Julian terlihat berdua dengan seorang gadis, meski pun Julian tidak benar-benar sendiri karena Rey ada bersamanya sekarang. Namun keberadaan Rey yang lumayan jauh membuat penonton menganggap kalau pembicaran itu hanya milik Julian dengan gadis itu. Rey sama sekali tidak terlibat.
"aaa..aku.. Sebenarnya.. Aa-aku tidak bermaksud.." setelah sekian detik menikmati kesunyian, gadis itu tampak mencoba berbicara. Meskipun dengan kalimat yang benar-benar kacau. Namun, sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya, Julian cepat-cepat memutusnya karena tidak sabar.
"jawab saja iya atau tidak..!"
Pandangan gadis itu beralih pada pemuda yang baru saja muncul di belakang Julian. Yah, dia adalah Rey. Tatapan gadis itu kepadanya benar-benar seperti menguliti, sehingga pemuda itu hanya bisa salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"maaf Zee, kupikir.. Sudah saatnya Julian tau."
"apa maksudmu Rey..?" sergap Julian tak mengerti. Kini tatapan Julian beralih terfokus pada sahabatnya.
"zee temanku sejak kecil.. Dan.."
"cukup Rey, Jangan lanjutkan." gadis bernama Zee itu berkilah. Sama sekali tidak menginginkan rahasianya terbongkar.
"tidak Zee.. Sudah waktunya dia tau semuanya." gadis itu hanya terdiam. Ia benar-benar mati kutu kali ini. Karena ia tau, beberapa detik lagi, semua hal yang ia pendam akan segera muncul ke permukaan.
"Julian, Zee adalah temanku sejak kecil.. Dia sangat mengagumimu.. Dan, akhir-akhir ini, dia sering memimpikanmu. Jadi kupikir, akan lebih baik kalau kau tau, jadi aku membantunya." terang Rey dengan nada hati-hati. Takut apabila Julian tiba-tiba marah akan ulahnya.
Namun sebaliknya, Julian tidak menampilkan reaksi yang berarti. Wajah Julian yang awalnya tegang perlahan mulai mencair. Dan senyuman tipis terbersit di sana. Benar-benar tidak dapat dipercaya. Ini adalah senyuman pertama yang dilihat gadis itu setelah sekian lama hanya disuguhi dengan wajah kaku seperti hari-hari yang lalu.
"benar begitu Zee..?" tanya Julian hangat. Gadis yang bernama Zee itu merasa heran dengan sikap Julian yang benar-benar tak terduga.
"ii..iya.." ucapnya lirih.
Setelah itu, Julian membuang napas berat. Seakan-akan bebannya sudah berhasil ia hempaskan. Hingga kali ini, ia bisa lebih mudah tersenyum dari pada hari-hari yang lalu.
"kau tau.. Aku merasakannya.. Kupikir mimpi kita berikatan. Namun sayangnya, tiap kali aku terbangun, aku tidak lagi bisa mengingat wajahmu.. Itu membuatku benar-benar kacau."
"apa..? Maksudmu kau.." Zee menerka-nerka.
"iya.. Mimpi kita sama. Bahkan sejak awal." Julian kembali menegaskan.
"aku merasa ini tidak adil. Kau mengenalku, sedangkan aku tidak.. Dan kau tau siapa yang kau mimpikan, sedangkan aku tidak.." lagi-lagi Julian tersenyum. Senyuman sederhana seperti yang di dalam mimpi.
"lalu, kenapa kau selalu bersikap dingin kepadaku..?" penjelasan Julian seakan-akan belum cukup membuat gadis itu mengerti.
"karena kau datang pada saat yang salah.. Kau datang saat aku sedang frustasi, karena aku tidak dapat menemukan gadis dalam mimpiku.." mendengar itu, Zee hanya bisa tersenyum. Tak mampu dan tak ingin berkata-kata lagi. Baginya ini sudah lebih dari cukup.
"jadi, apa kau mengizinkanku untuk mengenalmu..?" tanya Julian pada akhirnya dan disambut oleh anggukan kecil gadis itu.
"terima kasih.."
"hmmm.. Jadi, akhirnya sang prince charming berhasil menemukan muara hatinya..?" goda Rey seraya menyikut lengan sahabatnya.
"hahaha.. Terserah kau." balas Julian cengegesan.
"kau sangat beruntung memiliki sahabat sepertiku karena aku hampir mengenal setiap gadis di kampus ini." ujar Rey penuh kebanggaan.
"hah, bicara apa kau.. Kau memang sudah mengenal Zee sejak awal." tukas Julian tak terima. Pemuda itu menguliti Rey dalam tatapannya. Sementara zee hanya terkekeh melihat tingkah dua pemuda itu.
***

Terima kasih telah melihatku tidak hanya dengan mata, tetapi juga dgn hati__ Julian.

Mencintai itu bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keputusan_Zee.

Cinta itu sederhana, dan aku sudah membuktikannya__Rey.

***

sayangnya, setiap kali tokoh utama berakhir bahagia. Tokoh ketiga sering kali terabaikan. Di mana tokoh ketiga itulah yang sebenarnya kunci dari seluruh misteri itu. Yah, Rey. Dialah secret admirer yang sesungguhnya. Ia mengagumi Zee sejak lama, namun hanya bisa memendam perasaan itu karena lagi-lagi, kebahagiaan orang lain lah yang ia aggap lebih penting. Sampai ia menyebut dirinya sendiri sebagai orang bodoh, yang dengan relanya mengirimkan setiap surat yang di tulis Zee untuk Julian dengan menyelipkannya dalam loker. Meski begitu, ia tidak pernah menyesal. Karena baginya, dalam kasus ini, tidak ada yang namanya pecundang. Meski kadang kala, perasaannnya tak sejalan dengan logika. Namun Rey tetap berusaha memendam perasaan itu hingga ke titik terendah. Demi sahabatnya, dan kebahagiaan cintanya.

Secret admirer who still in secret, is his choice.

by: izzatul azzizah

cinta


cinta ?

Mengapa kita harus menutup mata ketika kita tidur?
Mengapa kita harus menutup mata ketika kita menangis?
Mengapa kita harus menutup mata kita ketika kita berpikir tentang sesuatu?
Mengapa kita harus menutup mata ketika kita berciuman?
Yang terbaik hal di dunia ini biasanya tidak terlihat

Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan
dan ada orang yang tidak ingin kita pergi
Tapi jangan lupa untuk melepaskan bukan berarti akhir dari dunia
melainkan awal dari kehidupan baru

Untungnya, bagi mereka yang menangis
Untungnya, bagi mereka yang telah menyinggung
Untungnya, bagi mereka yang telah mencari dan telah mencoba

Karena mereka mengukur
Seberapa penting adalah orang yang telah menyentuh kehidupan mereka

Cinta adalah ketika Anda menangis, tapi masih dipengaruhi
terhadap
Cinta itu seperti dia tidak peduli tentang Anda, Anda harus menunggu
dimana
Cinta, cinta orang lain dan jika dia masih
bisa tertawa
berkata: “Saya sangat senang untuk Anda”

Jika cinta gagal untuk memberikan
Mari sayap hati dan terbang kembali ke alam
Bebas lagi
Jangan lupa bahwa Anda menemukan diri Anda, cinta dan kehilangan ..
Tetapi jika cinta tidak aktif, Anda tidak harus mati bersamanya ..

Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang dalam semua hal
Tapi mereka yang pergi, karena mereka terus turun
Entah bagaimana dalam perjalanan kehidupan Anda,
Kamu sendiri dan suatu hari Anda belajar
menyadari
Itu tidak ada penyesalan dalam hidup Anda
Hanya setelah memilih opsi penghargaan hidup yang kekal
Anda melakukan
Yang harus dalam hidup Anda

Teman sejati akan mengerti jika Anda mengatakan “Aku lupa”
Teman sejati tetap setia menunggu, ketika Anda mengatakan ”
Tunggu sebentar ”
Teman sejati Anda tetap dekat, terikat
jika Anda mengatakan: “Tinggalkan aku sendiri”

Saat kamu berkata untuk meninggalkan
Mungkin dia akan sebentar pergi,
Berikan waktu Anda untuk menulis untuk diri mereka sendiri,
Tapi saat ini, hatinya tidak akan pernah meninggalkan
Dan jika ia jauh dari Anda, dia akan selalu berdoa untuk air
Mata

Berbahaya lainnya retak dalam hati
seperti air mata yang datang dari mata kita
Air mata dari mata kita dapat dihapus
Sementara air mata yang tersembunyi
Luka di dalam hati Anda untuk menggaruk
Bekas luka tidak akan pernah hilang

Meskipun ketika datang untuk mencintai, kita sangat jarang menang,
Tapi jika cinta itu tulus …
tampaknya Anda kehilangan
Tapi sebenarnya Anda menang, karena Anda bisa bahagia
jika Anda mencintai seseorang,
Lebih dari kamu mencintai saya …

Berhenti sejenak bahwa Anda adalah seseorang yang mencintai
Bukan karena orang tidak lagi mencintai kita
Atau karena dia tidak peduli tentang kami
Tetapi jika kita menyadari bahwa orang tersebut
Akan lebih bahagia jika kita melepasnya
Tetapi jika Anda benar-benar mencintai seseorang,
Kami belum melepaskan
Berjuang demi cintamu … Memperjuangkan impian Anda!
Ini adalah cinta sejati ..
Mirip dengan prinsip “Easy Come Easy Go …..”

Lebih baik untuk orang yang Anda benar-benar ingin menunggu
Alih-alih berjalan sepanjang “tersedia”
Lebih baik menunggu orang yang Anda cintai
Karena orang-orang dalam “Tour”

Lebih baik menunggu orang yang tepat
Karena hidup ini terlalu berharga dan terlalu singkat
Untuk mengatakan “a” dihapus
Atau, untuk dibuang dengan tidak layak

Terkadang orang yang Anda cintai, yang paling
terluka
Dan kadang-kadang teman tidak dalam pelukannya
Dan menangis bersamamu cinta yang tidak Anda kenal

Hukum dari mulut seseorang
Orang lain dapat membangun, tetapi juga dapat dijatuhkan
Jika dia bukan pada orang, waktu dan tempat itu ditandai benar
Hal ini tentu bukan sesuatu yang bijaksana

Hukum dari mulut seseorang
Dapat menyebabkan kebenaran atau kepalsuan, isi hati
Kita semua bisa mengatakan dengan bibir kita
Tapi konten yang sebenarnya dari hati kita tidak akan ditolak

Jika Anda ingin mengatakan sesuatu ..
Lihat di cermin dan melihat mata Anda, mata Anda
Dari sana hati Anda akan bersinar di
Yang benar akan muncul dari sana

Jika kekasihmu mengkhianati atau meninggalkanmu, maka tersenyumlah…
Sebab, orang yg seharusnya bersedih adalah dirinya…

Karena kamu hanya kehilangan orang yg tidak mencintaimu…
Sedangkan dia telah kehilangan seseorang yg ikhlas menyayanginya… www.duniaremaja.com