Minggu, 03 Februari 2013

cerpen the letters

Loving you is like a beautiful mistake. Cause i can feel two different thing at once. Happiness, and sadness.. Happy cause i know how is loving. And sad because i just can admiring, no more..

Langit jingga terbersit jauh di depanku. Pasti malam sudah mengembang di tempat lain. Aku terhenyak, segera kukenali kalau ini adalah mimpi. Tempat ini, adalah tempat yang sangat kurindukan. Bukit-bukit dengan bunga edelwise, bau rerumputan basah, pohon oak besar yg berdiri kokoh di puncak bukit tertinggi.
Tak butuh waktu lama untuk mengingat tempat ini, tempat terakhirku bertemu dengan Julian, pemuda yang sangat kukagumi di dunia nyata.

Aku melangkah gamang menapaki jalan setapak berkelok yang berujung di puncak bukit. Samar-samar pandanganku menangkap sebuah bayangan pemuda jangkung yang tengah memusatkan perhatiannya pada jingga di ujung langit sana. Seperti yang terakhir kali kutemui, pemuda itu masih mengenakan celana jeans dengan kemeja biru yang lengannya dilipat hingga ke siku. Ia masih tampak mempesona seperti dulu. Yah, ia adalah Julian. Pemuda yang hanya bisa kudekati melalui mimpi. Dan nyaris tak bisa kusentuh di dunia nyata.

Angin sore menerbangkan anak rambutnya yang membaur dengan kilauan jingga itu. Perlahan, ia menoleh. Menampilkan senyuman tipisnya yang membuatku merasa yakin bahwa Julian yang ini dengan yang nyata adalah orang yang berbeda. Sama sekali bukan orang yang sama.

"hei... Sudah lama kau tidak datang. Kemana saja..?" sapanya ramah seraya berpaling mengabaikan langit indah itu dan beralih memperhatikanku.
"maaf, sebenernya aku selalu ingin kemari. Tapi... Entahlah, hal ini tidak datang setiap hari." aku berucap ragu.
Bisa-bisanya pemuda itu tersenyum. Benar-benar senyuman sederhana yang mampu melumpuhkan lutut setiap gadis yang melihatnya. Tak terkecuali aku sendiri. Tapi bukan itu yang membuatku kagum dan melihat Julian adalah sosok yang berbeda. Aku melihat hatinya di sana. Meski ia lebih sering bersikap dingin pada siapa pun, aku tau.. Julian memiliki sisi baik di sudut hatinya. Hanya saja ia terlihat enggan menampilkannya. Dan, yang kubicarakan itu adalah Julian yang ada di dunia nyata. Yang sama sekali berbeda dengan Julian yang sekarang, yang ada di depanku. "sudahlah. Tak apa... Yang penting kau ada di sini sekarang. Aku sangat merindukanmu." Julian menghadiahkanku sebuah dekapan hangat. Ini adalah hal terbaik yang pernah kuterima, dimana aku bisa merasakan irama detak jantungnya yang bagaikan melodi indah.
"lihat.. Aku merangkai mahkota edelwise untukmu.." Julian mengayunkan sebelah tangannya yang menggenggam benda yang ia maksud. Mahkota edelwise yang sangat manis.
"kau membuatnya untukku..?"
"tentu saja.." Julian yang ramah memasangkan mahkota itu di puncak kepalaku. Lalu, ia menampilkan senyuman tipisnya lagi.
"hei lihat..! Kau begitu cantik." mendengar itu, justru bukan kesenangan yang kudapatkan, hatiku justru sesak akan itu, karena aku tau... Dia adalah Julian yang lain, yang hidup dan mati dalam imajinasiku, yang kubentuk sedemikian rupa untuk mengusir kesepianku. Dia adalah Julian yang sifatnya bertolak belakang dengan Julian yang ada di dunia nyata.
"kenapa ? Kau tidak suka dengan mahkotanya ?" Julian menatapku bingung, lengkap dengan wajah muramnya.
"ehm.. Tidak, aku sangat menyukainya. Terima kasih, ini hal terindah yang pernah kudapatkan."
Julian terlihat mengulum senyum mendengar ucapanku. Sebentar kemudian, tatapannya beralih pada langit yang membentang di atas kami. Awan perlahan perlahan berarak membelah senja.
"matahari terbenam akan terhalang oleh mendung.." lirihnya. Nada bicara Julian sarat akan kekecewaan. Bisa kulihat juga sinar matanya yang kian redup.
"ya, tapi kita bisa melihatnya lagi di lain waktu." ucapku mencoba menghibur seraya tersenyum semanis mungkin.
"namun aku harus menunggu lama sampai kau kesini lagi."
Aku terdiam. Tertegun. Merasa senang sekaligus sedih. Andai Julian yang di depanku sekarang adalah Julian yang nyata, Julian yang selalu kuharapkan kehangatannya. Andai Julian yang nyata lah yang mengatakan itu. Tapi rasanya itu tidak mungkin. Julian yang nyata bahkan tak pernah mengharapkan kehadiranku.
"kalian sangat berbeda." aku bergumam pelan seraya mencoba tidak menampilkan kesedihanku di depan Julian.
"maksudmu..?" pemuda bergaris wajah tegas itu tampak tidak mengerti. Yah, aku bisa melihatnya dari sorot matanya yang penuh tanda tanya.
"kau sangat berbeda dengan yang ada di dunia nyata.."
"kenapa begitu..? Bukankah ini dunia nyata..?" Julian menuntunku untuk duduk bersandar pada pohon oak besar yang menjadi tempat terbaik kami selama menghabiskan sore seperti hari-hari yang lalu. Julian masih tampak setia menunggu jawabanku. Matanya yang teduh begitu menusuk menghangatkan sore yang dingin ini.
"tidak julian, ini hanya mimpi.. Kau hidup di dalam mimpiku.. Kau yang nyata begitu dingin, begitu susah kudekati." ucapku dengan memaksakan sebuah senyuman.
"benar begitu..?" Julian masih tampak bingung. Dan aku pun yakin, penjelasan sepanjang apa pun tidak akan pernah bisa membuatnya mengerti dan menyadari kalau ini hanya imajinasiku. Sama sekali bukan kenyataan.
"kenapa kau tidak menyuruhku berubah dan menjadi seperti apa yang kau inginkan..?" Julian tampak tidak sabar menungguku menjawab. Ada sedikit sorot kecemasan di mata teduhnya.
"andai aku bisa, akan kulakukan.." balasku seraya menengadahkan kepala, menyambut titik-titik air yang mulai berjatuhan dari langit. Sepertinya hujan tidak sabar menunggu kami menyelesaikan pembicaraan yang benar-benar menguras emosiku ini.
"lalu, apa yang bisa kulakukan..? Apakah aku yang nyata begitu keras kepala..?" lagi-lagi, Julian terlihat cemas. Sorot matanya yang kudapati begitu berbeda dengan aslinya begitu menganiayaku dalam rana penyesalan.
"kau tidak perlu melakukan apapun.. Kau cukup bertahan hidup saja dalam imajinasiku.. Aku tidak ingin kau hilang, dan pergi bersama waktu." rintik-rintik air yang kian rapat menyamarkan air bening lain yang mengalir dari sudut-sudut mataku. Sehingga aku bisa menyembunyikannya di depan Julian. Aku tidak ingin dia melihatku menangis. Saat-saat berdua dengan Julian adalah saat-saat yang istimewa. Tidak dapat kurasakan setiap hari. Dan aku sama sekali tidak ingin merusaknya.
"aku tidak ingin kau menjadi awan yang dengan mudahnya terhapus oleh hujan.. Jadilah matahari yang akan selalu menemaniku, meski pun tidak selalu dekat, aku tetap yakin kau akan tetap ada.. Sampai Tuhan menyuruhmu untuk berhenti terbit." ucapku lagi.
Kulihat Julian hanya terdiam. Aku tidak tau apa yang sedang ia pikirkan, namun yang kuyakini sekarang, Julian sedang memikirkan tentangku, tentang kami.
"tinggal lah di sini." Julian berucap lirih.
"aku tidak bisa.. Tempatku tidak di sini." ucapku hati-hati, takut kalau-kalau menyakiti hatinya.
Gestur-gestur hujan itu perlahan membuat bayangan Julian kabur, hingga menyisakan sebuah siluet samar yang mencoba untuk tetap bersuara. Menembus gemericik hujan yang kian lebat menghantam tanah.
"tunggu, tolong jangan pergi.. Aku ingin mengatakan sesuatu.. Kumohon..!" hanya itu yang terdengar, hingga suara lembut Christina Perri yang melantunkan lagu a thousand years menyeruak ke gendang telingaku. Membuatku sadar, kalau pengembaraan mimpiku telah berakhir. Aku mengerjap pelan. Kudapati ada air bening yang menggantung di sudut mataku. Aku tersenyum. Hah, mungkin sisa air hujan tadi.
Aku masih terdiam, belum ingin beranjak dari tempat tidurku. Anganku kembali melayang, mencoba meniti lagi bunga tidur indah itu. Begitu aku ingat jelas mimpiku barusan, aku langsung mengambil secarik kertas dan pena untuk menulisnya. Untukmu...

Aku hanya ingin kau tau. Melalui goresan tinta ini, cerita ini, dan harapan ini.

From: aku yang namanya tak penting untuk disebut. (Secret admirer)
To: someone who still alive in my dream.

Tangan pemuda yang menggenggam kertas notes berwarna putih tulang itu bergetar sedetik setelah menyelesaikan membaca suratnya. Pandangannya kosong menerawang jauh ke dalam memori. Apa yang dibacanya, seakan-akan pernah ia alami sebelumnya. Inikah yang disebut de javu ?
"hei Julian.. Kau sedang apa..?" seorang pemuda lain yang baru saja datang menepuk pundak kawannya terlampau keras. Nyaris membuatnya terjungkal karena terkejut.
"kau ingin menambah jumlah korban mati karena penyakit jantung hah..?" cercau pemuda yang masih disibukkan dengan surat misterius yang dibawanya itu.
"haha.. Maaf sobat. Aku tidak bermaksud.. Eh, hei apakah ini surat..? Dari mana kau mendapatkannya..? Manis sekali. Aku belum pernah mendapatkan surat seperti ini. Aku yakin ini pasti dari seorang gadis. Kemari, biar aku melihatnya.. Aku ahli dalam urusan ini." celoteh pemuda berambut spike itu seraya mengambil kertas yang dimaksud dari tangan Julian.
Julian hanya memutar bola matanya dramatis begitu mendengar penuturan sahabatnya yang begitu panjang.
"Rey.. tolong diam saja kalau kau tidak tau siapa yang meletakkan surat ini di lokerku." Julian berdecak malas.
Mata pemuda bernama Rey itu tampak memindai cepat tulisan yang berjajar rapi yang memenuhi kertas itu. Sebentar kemudian, sudut-sudut bibirnya mulai terangkat membentuk sebuah senyuman.
"aku memang tidak tau orang bodoh mana yang meletakkan surat ini di lokermu, namun sepertinya aku tau siapa yang menulisnya.." sekali lagi, Rey mengangguk penuh keyakinan.
***

"kau yakin dia yang menulisnya..?" Julian berucap ragu seraya mengawasi kampus fakultas ekonomi dari balik rerimbunan bonsai taman.
Rey yang berada di sebelahnya hanya mengangguk yakin. Dengan aba-aba ringan dari Rey, Julian akhirnya melompat keluar dan muncul tepat di depan seorang gadis berdandanan casual yang tengah memeluk buku diktat tebalnya. Kehadiran Julian yang secara tiba-tiba membuat gadis itu terkejut dan nyaris terhenyak kebelakang.
"apa kau mengenalku..?" tanya Julian bak seorang polisi yang tengah menginterogasi.
"aa..ku.. Ehmm.. Kk-kurasa semua orang mengenalmu.. Julian." gadis itu tampak gugup. Sementara Julian hanya mengangguk mengerti. Sepertinya pertanyaan itu memang tidak perlu di ucapkan. Semua orang pastinya mengenal dirinya, putra tunggal pemegang saham terbesar di kampus itu.
"kau yang menulis ini..?" lanjut Julian to the point seraya mengulurkan surat yang sedari tadi di bawanya.
Dan kali ini, mata gadis itu benar-benar terbelalak sempurna. Seakan-akan yang dilihatnya adalah sesuatu hal yang sangat menakutkan, atau lebih tepatnya sebuah rahasia yang seharusnya, penerimanya pun tidak mengetahui siapa pengirimnya.
"kenapa diam..?" nada datar Julian kembali menyeruak membelah keheningan. Entah gadis itu atau penghuni kampus yang berlalu lalang dan sengaja mendengar, mereka pasti akan merasa kalau memang begitulah Julian. Prince charming yang sikapnya begitu dingin. Namun kali ini orang-orang berlalu dengan tatapan yang berbeda padanya. Ini kali pertamanya Julian terlihat berdua dengan seorang gadis, meski pun Julian tidak benar-benar sendiri karena Rey ada bersamanya sekarang. Namun keberadaan Rey yang lumayan jauh membuat penonton menganggap kalau pembicaran itu hanya milik Julian dengan gadis itu. Rey sama sekali tidak terlibat.
"aaa..aku.. Sebenarnya.. Aa-aku tidak bermaksud.." setelah sekian detik menikmati kesunyian, gadis itu tampak mencoba berbicara. Meskipun dengan kalimat yang benar-benar kacau. Namun, sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya, Julian cepat-cepat memutusnya karena tidak sabar.
"jawab saja iya atau tidak..!"
Pandangan gadis itu beralih pada pemuda yang baru saja muncul di belakang Julian. Yah, dia adalah Rey. Tatapan gadis itu kepadanya benar-benar seperti menguliti, sehingga pemuda itu hanya bisa salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"maaf Zee, kupikir.. Sudah saatnya Julian tau."
"apa maksudmu Rey..?" sergap Julian tak mengerti. Kini tatapan Julian beralih terfokus pada sahabatnya.
"zee temanku sejak kecil.. Dan.."
"cukup Rey, Jangan lanjutkan." gadis bernama Zee itu berkilah. Sama sekali tidak menginginkan rahasianya terbongkar.
"tidak Zee.. Sudah waktunya dia tau semuanya." gadis itu hanya terdiam. Ia benar-benar mati kutu kali ini. Karena ia tau, beberapa detik lagi, semua hal yang ia pendam akan segera muncul ke permukaan.
"Julian, Zee adalah temanku sejak kecil.. Dia sangat mengagumimu.. Dan, akhir-akhir ini, dia sering memimpikanmu. Jadi kupikir, akan lebih baik kalau kau tau, jadi aku membantunya." terang Rey dengan nada hati-hati. Takut apabila Julian tiba-tiba marah akan ulahnya.
Namun sebaliknya, Julian tidak menampilkan reaksi yang berarti. Wajah Julian yang awalnya tegang perlahan mulai mencair. Dan senyuman tipis terbersit di sana. Benar-benar tidak dapat dipercaya. Ini adalah senyuman pertama yang dilihat gadis itu setelah sekian lama hanya disuguhi dengan wajah kaku seperti hari-hari yang lalu.
"benar begitu Zee..?" tanya Julian hangat. Gadis yang bernama Zee itu merasa heran dengan sikap Julian yang benar-benar tak terduga.
"ii..iya.." ucapnya lirih.
Setelah itu, Julian membuang napas berat. Seakan-akan bebannya sudah berhasil ia hempaskan. Hingga kali ini, ia bisa lebih mudah tersenyum dari pada hari-hari yang lalu.
"kau tau.. Aku merasakannya.. Kupikir mimpi kita berikatan. Namun sayangnya, tiap kali aku terbangun, aku tidak lagi bisa mengingat wajahmu.. Itu membuatku benar-benar kacau."
"apa..? Maksudmu kau.." Zee menerka-nerka.
"iya.. Mimpi kita sama. Bahkan sejak awal." Julian kembali menegaskan.
"aku merasa ini tidak adil. Kau mengenalku, sedangkan aku tidak.. Dan kau tau siapa yang kau mimpikan, sedangkan aku tidak.." lagi-lagi Julian tersenyum. Senyuman sederhana seperti yang di dalam mimpi.
"lalu, kenapa kau selalu bersikap dingin kepadaku..?" penjelasan Julian seakan-akan belum cukup membuat gadis itu mengerti.
"karena kau datang pada saat yang salah.. Kau datang saat aku sedang frustasi, karena aku tidak dapat menemukan gadis dalam mimpiku.." mendengar itu, Zee hanya bisa tersenyum. Tak mampu dan tak ingin berkata-kata lagi. Baginya ini sudah lebih dari cukup.
"jadi, apa kau mengizinkanku untuk mengenalmu..?" tanya Julian pada akhirnya dan disambut oleh anggukan kecil gadis itu.
"terima kasih.."
"hmmm.. Jadi, akhirnya sang prince charming berhasil menemukan muara hatinya..?" goda Rey seraya menyikut lengan sahabatnya.
"hahaha.. Terserah kau." balas Julian cengegesan.
"kau sangat beruntung memiliki sahabat sepertiku karena aku hampir mengenal setiap gadis di kampus ini." ujar Rey penuh kebanggaan.
"hah, bicara apa kau.. Kau memang sudah mengenal Zee sejak awal." tukas Julian tak terima. Pemuda itu menguliti Rey dalam tatapannya. Sementara zee hanya terkekeh melihat tingkah dua pemuda itu.
***

Terima kasih telah melihatku tidak hanya dengan mata, tetapi juga dgn hati__ Julian.

Mencintai itu bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keputusan_Zee.

Cinta itu sederhana, dan aku sudah membuktikannya__Rey.

***

sayangnya, setiap kali tokoh utama berakhir bahagia. Tokoh ketiga sering kali terabaikan. Di mana tokoh ketiga itulah yang sebenarnya kunci dari seluruh misteri itu. Yah, Rey. Dialah secret admirer yang sesungguhnya. Ia mengagumi Zee sejak lama, namun hanya bisa memendam perasaan itu karena lagi-lagi, kebahagiaan orang lain lah yang ia aggap lebih penting. Sampai ia menyebut dirinya sendiri sebagai orang bodoh, yang dengan relanya mengirimkan setiap surat yang di tulis Zee untuk Julian dengan menyelipkannya dalam loker. Meski begitu, ia tidak pernah menyesal. Karena baginya, dalam kasus ini, tidak ada yang namanya pecundang. Meski kadang kala, perasaannnya tak sejalan dengan logika. Namun Rey tetap berusaha memendam perasaan itu hingga ke titik terendah. Demi sahabatnya, dan kebahagiaan cintanya.

Secret admirer who still in secret, is his choice.

by: izzatul azzizah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar