Minggu, 03 Februari 2013

cerpen love

Love is smile. :)
Love is tear. :'(
Love is little light in the darkness.
Love is little hope in the illness.
Love is when you feel can standing right here when rain drops, with little pieces of heart just because you know, everythings are possible.
You might believe something you want to..

Pertahanan yang telah Karina Virgia bangun sedemikian rupa bisa runtuh dalam hitungan detik di depan Kevin Aditya, lelaki bertubuh jangkung dengan rambut spike yang sosoknya selalu ada untuknya. Seumur hidup, ia tidak pernah secengeng ini didepan siapapun. Karena bagi Karin, menunjukkan air mata di depan orang lain itu sama saja dengan menunjukkan sisi lemahnya yang seharusnya tidak diketahui oleh siapa pun. Sebuah prinsip bodoh yang ia pegang teguh, di mana ia berjanji hanya di depan bintanglah ia akan menumpahkan segala air mata dan keluh kesahnya. Di depan bintang yang ia yakini, di sanalah sang mama sedang mengawasi. Setiap harinya, bersanding bersama sang dewi malam. Namun prinsip itu seakan-akan runtuh dengan begitu mudahnya kali ini, bersama butiran air bening yang mengalir turun membelah pipi tirusnya. Lagi-lagi, dengan tenang dan perlahan, kelima jari Aditlah yang menghapus butiran bening yang jatuh itu. Di mana hanya di tangan lelaki itu ia serahkan air mata beserta seluruh kehampaan di dalamnya.

Begitu juga dengan Adit, seolah-olah, rasa sedih itu ingin bisa ia pindahkan ke tangannya. Betapa ingin ia menopang sendiri rasa sedih yang dirasakan gadis itu, atau paling tidak, membantunya menopangnya bersama. Ia tidak ingin gadis yang sangat berarti baginya itu menanggung segala kesedihan itu seorang diri. Karena, hanya gadis itulah yang mampu membuatnya membuka mata, mampu membuat kebekuan hatinya perlahan mencair. Setelah sekian lama.

Detik ini. Mereka berdua. Merasakannya, bersama.

Bukan untuk yang pertama kalinya, seluruh perhatian Adit terkunci rapat pada wajah sendu yang sepucat kertas milik gadis itu. Seakan-akan gadis itu mampu menyita seluruh perhatian beserta kesadarannya.

Karin masih merasakannya. Tangan itu, ia yakin tangan seorang malaikat yang dikirimkan Tuhan dari surga sebagai pertanda akhir penantiannya. Malaikan yang dikirimkan Tuhan melalui sosok Kevin Aditya. Namun lagi-lagi, itu tidak semudah yang ia kira. Meski tangan itulah yang sering kali merengkuhnya dalam dekapan yang mampu membuatnya merasa aman dari segala ancaman, tangan itu juga yang selalu menghapus habis segala kepedihannya, tangan itu pula yang selalu menempatkan diri dengan suka rela menjadi perisai di depannya, tanpa syarat, Karin yakin, ada satu lagi yang menjadi penghalang. Meski perasaan itu telah berkembang tanpa mampu ia hentikan. Perasaan yang tumbuh dengan liar hingga menyeruak memenuhi setiap inci sudut hatinya. Perasaan indah yang nyatanya begitu menyakitkan bagi siapa saja yang sedang berada dalam posisi yang sama seperti dirinya. Saat ini.

Karena, satu lagi penghalang yang nyata, Andi Leonard, kakaknya sekaligus bagian dari masa lalu Adit. Dengan alasan yang begitu kuat, dengan ego yang terlampau besar, dan segelintir kisah 2 tahun silam, yang menjadikan "Karin dan Adit", adalah sebait cerita romansa yang "mustahil". Kini, waktu melahirkan Andi sebagai tokoh penentang yang benar-benar nyata bagi mereka. Yang mengharuskan mereka tetap berada di sisi yang berbeda. Yang mengharuskan mereka terkurung dalam penantian dalam dimensi waktu, yang suatu saat nanti mungkin akan mengasihani mereka, dan melepaskan belenggunya sekedar untuk membiarkan mereka untuk tetap bersua.

Mereka bersama, tapi terpisah. Mereka mencintai, tapi dipaksa untuk saling membenci.
Sebuah kenyataan yang benar-benar telak, namun tetap sederhana kalau perasaanlah yang berbicara.
Memang tak serumit kisah Chleopatra dan Mark Anthony, tak sena'as kisah Abigail dan John Adams, dan tak seindah dongeng Shakespeare Romeo dan Juliet, namun... Mereka punya kisah mereka sendiri, mereka punya perasaan yang sama-sama layak untuk diperjuangkan, hingga mampu bermuara pada akhir yang nyata. Bersatu, atau mungkin tidak sama sekali. -..-"

"biar gue ke Andi ya.. gue bakal jelasin ke dia." bisik Adit sarat dengan keputus asaan. Karin tau, cowok itu sama lelahnya dengan dirinya, lelah dengan keadaan ini, lelah dengan semua omong kosong yang menjadikan mereka terbentang oleh jarak.
Namun lagi-lagi, bayangan Andi yang pernah menghajar Adit tanpa ampun, seolah-olah mengunci Karin pada keputusan pasti bahwa Adit dan Andi tidak boleh bertemu lagi. Ia tidak ingin yang minggu lalu itu terjadi lagi.
"nggak usah.. Kakak gue itu keras kepala Dit. Sama aja lo bunuh diri kalo' lo nemuin dia."
"sama keras kepalanya kayak elo kan..?" dengan wajah sekarat itu, Adit masih mencoba mengucapkan lelucon kecil supaya wajah pucat di depannya itu bisa sedikit membersitkan sebuah senyuman. Meski ia tau, untuk Karin, sekedar tersenyum saja sudah cukup susah setelah semua yang telah ia lalui.
Dan benar saja, hanya helaan nafas tertahan yang bisa ia lihat sebagai reaksi leluconnya yang sama sekali tidak membantu.

Seperempat detik kemudian, mobil Audi R8 hitam yang dihiasi spotlight biru menyala mendarat dengan dramatis tepat di depan keduanya setelah membuat gerakan manuver tajam.
Otak Adit yang bekerja cukup cepat dengan mengenali siapa pemilik mobil itu langsung menggenggam jemari Karin yang beranjak mendingin. Kelima jari Adit lalu menuntun Karin untuk ke balik punggungnya. Mencoba melindungi gadis itu sebelum sang pemilik mobil keluar dan mengamuk untuk yang kesekian kalinya.

"Rin..!! Cepet masuk mobil..!" perintah cowok berparas campuran Asia-Jerman dengan lensa mata gradasi antara cokelat dan hitam, yang baru saja membanting pintu mobil Audi itu. Lensa mata yang indah itu terlihat sangat menakutkan saat berkilat marah.
Sementara genggaman kelima jari Adit semakin menguat. Seakan-akan gertakan Andi semakin membuat nyala api dalam dirinya semakin membara, menyertai tekadnya yang semakin besar untuk memperjuangkan gadis itu. Di belakang Adit, Karin masih tampak terpengkur, antara sadar dan tidak sadar. Matanya memandang kosong ke depan dengan wajah pucat yang belum berubah sejak awal. Wajah itu justru semakin pucat menyadari sosok Andi yang datang dengan letupan emosi yang begitu besar.

"cepet masuk mobil kalo' lo nggak pengen liat kita berantem lagi..!" gertakan yang lebih keras dan sarkatis baru saja terlontar dari mulut Andi. Membuat Karin terkesiap. Keteguhannya seakan-akan goyah. Lantas, gadis itu melepaskan jemari Adit dengan paksa namun dengan sangat perlahan pula. Karena sebenarnya, hatinya tak lagi sejalan dengan rasionya. Di pandangnya wajah yang sempat menautkan alis itu dengan sayu. Seakan-akan kedua lensa mata hitam pekat itu, menyuruh Karin untuk tetap di tempat. Di belakangnya. Di mana tempat itulah yang menjadi tempat yang paling aman untuknya saat ini.

Namun usaha Adit tak berhasil. Karin mulai melangkah gamang mencapai pintu depan Audi hitam itu. Sementara matanya masih mengawasi ke arah dua orang pemuda yang kini saling melayangkan tatapan mematikannya.

"biar gue jelasin semuanya.." ucap Adit sarat dengan penyesalan.
"jelasin..? Apa lagi yang mau lo jelasin.. Lo tuh kalo' playboy ya playboy aja, gak usah pake' ngelibatin adek gue segala. Inget gimana waktu lo dengan seenaknya ngerebut Vera yang waktu itu jelas-jelas statusnya adalah pacar gue..? Terus dengan seenaknya lo tinggalin gitu aja." terang Andi dengan gusar. Kelima jarinya tertarik kedalam dengan kuat membentuk dua kepalan besar yang siap melukai Adit kapan saja.
"kenyataannya emang gue gak cinta sama Vera Ndi.. Gue nerima dia cuma atas dasar kasihan dan juga, elo maksa gue kan waktu itu. Lo bilang lo cinta sama dia, jadi lo pengen dia bahagia meskipun di atas penderitaan lo sekali pun. Dan sekarang, lo numpahin seluruh kesalahan itu ke gue. Di mana otak lo..? Gimana jalan pikiran lo..?" perkataan Adit seakan-akan menyiksa Karin dalam keputus asaannya. Hingga gadis itu masih tertegun, terpaku di depan pintu mobil dengan mata yang mulai basah karena lagi-lagi air bening itu keluar tanpa di suruh. Namun kali ini, tak ada jemari Adit yang bisa menghapusnya, karena Karin tau, ada yang lebih penting yang harus cowok itu lakukan. Menjelaskan semuanya.

Andi menatap Adit jengah. Seakan-akan penututran Adit tak lagi berarti baginya. Rahangnya terkatup kuat-kuat saat otaknya mulai memutarkan sebuah memori silam akan kisah antara dirinya, Vera, dan juga Adit, yang pernah sempat menjadi sahabatnya dulu. Kala SMA. Sebelum semuanya berubah, sebelum Adit membuat kesalahan itu.
Buru-buru Andi menyadarkan diri dan menarik jiwanya dari pengembaraan masa lalu. Dilihatnya lagi lelaki yang berdiri di depannya dengan lekat.
"bulshit lo.. Sok berhati malaikat kalo' di depan adek gue." Andi mulai menggila. Cowok itu menarik kerah kemeja Andi hingga punggung cowok itu terantuk kap mobil dengan keras. Berkali-kali ia layangkan pukulan demi pukulan ke perut cowok itu tanpa ampun. Dan yang membuat Karin gusar dan menolak untuk tetap diam adalah karena Adit menerima setiap pukulan itu. Adit tak pernah mencoba untuk menghindar meskipun Karin yakin, Adit bisa melakukannya. Adit bisa saja melukai Andi dengan sangat mudah. Namun kenapa ia hanya diam. Seolah-olah ia memang pantas menerima perlakuan itu. Apa yang ada di pikiran Adit sekarang..? Melihat semua itu, tentu saja Karin tidak akan tinggal diam dan menunggu lelaki yang ia cintai mati di tangan kakaknya sendiri. -_-

"kak Andi..!! Udah, berhenti..!" Karin mencoba merentang jarak antara keduanya.
Kehadiran Karin di tengah mereka justru membuat Andi semakin kalap. Cowok itu semakin melayangkan pukulan demi pukulan dengan membabi buta.
Hingga sebuah pukulan, tidak sengaja membuat Karin tersentak dan terhuyung ke belakang. Namun beruntung, lengan Adit yang kokoh dengan cepat meraih pinggang Karin, hingga cewek itu tidak sampai mendarat membentur permukaan aspal yang keras.
Situasi yang panas itu sontak membeku. Adit dan Karin masih tetap bertahan pada posisi itu. Keduanya, sama-sama terluka. Saling memeluk dan mencoba menopang satu sama lain. Benar-benar seperti potongan sebuah film romantis.
Mata elang Andi semakin berkilat marah. Bagi Andi, sebuah cinta tidak akan pernah layak untuk seorang Adit yang jelas-jelas sudah pernah menghancurkan hati puluhan wanita. Dan ia tidak ingin, adiknya akan menjadi korban selanjutnya.

"sialan lo Dit..! Lepasin adik gue..!" dengan paksa, Andi menarik Karin dari dekapan cowok itu.
Dan dengan gerakan cepat, lagi-lagi Andi menghujamkan kepalan tangannya ke arah Adit.

Hati Karin benar-benar terluka kali ini. Umpatan-umpatan kekesalan yang kini berkutat di otaknya, tak tau harus ia tumpahkan kepada siapa.
"udah kak.. Kasihan Adit.. Gue bakalan turutin semua kemauan lo.. Tapi tolong, berhenti..!!" jerit Karin tertahan. Gadis itu terisak seraya menarik lengan kakaknya. Berusaha menghalau tangan atletis itu supaya berhenti memukul. Namun, tentu saja usahanya tak membuahkan hasil yang berarti. Kekuatan Karin memang tidak diciptakan Tuhan untuk bisa melawan cowok yang besarnya nyaris dua kali lipatnya itu. Sebesar apapun usahanya untuk membuat Andi berhenti, rasanya tidak akan pernah benar-benar berhasil. Karena untuk membuat Andi bergeser sedikit saja, sudah hampir menguras habis seluruh nyawanya. Dan untuk yang kesekian kalinya, lagi-lagi Karin tersentak cukup kuat ke belakang. Namun kali ini, tidak lagi sama. Kejatuhan itu tidak seberuntung kejatuhan awal. Karin terhunyung bersamaan dengan sebuah sedan putih yang melaju ganas di badan jalan.
Sorotan lampu, dengungan klakson, dan decitan rem yang mengiringi teriakan seorang cowok yang memanggil namanya dengan jeritan keras adalah hal terakhir yang ia rasakan sebelum semuanya berubah menjadi gelap, gelap, dan sunyi. Seakan-akan kehampaan menelannya hidup-hidup.

Kini, semua itu... Tak lagi berarti.. Ini adalah sebuah ujung, sebuah muara yang merupakan jarak yang terbentang sangat nyata di antara mereka.

"Karin..!" hati cowok itu berdarah, bersama gadis yang ia cintai yang kini terbaring lemah dengan bersimpah darah pula. Kedua tangannya menopang tubuh lunglai itu. Mencoba menunggu, apabila sewaktu-waktu mata indah itu akan terbuka lagi, dan mengijinkannya untuk merengkuh tubuh sekaligus jiwanya, untuk yang terakhir kali. Di tengah tetesan air hujan, yang kini menghujamkan kristal-kristal cairnya yang begitu tajam tanpa ampun. Butiran bening yang mengalir jatuh dari langit itu, mampu menyapu bersih darah yang tampak menghiasi wajah yang tertidur tenang itu. Membuat Adit mampu melihat wajah manis itu dengan cukup jelas. Untuk yang terakhir kalinya.

Tersisalah seorang lelaki dengan keegoisan besar itu, yang terbunuh oleh sebuah penyesalan. Kini, ia menangis. Sebuah tangisan penyesalan yang menjadikannya begitu rendah di mata cinta. Dia bukan siapa-siapa, namun ia berani menentang keduanya.

Segala penyesalan itu, segala air mata itu, tak akan pernah mampu membuat gadis itu bangun kembali.. Untuk selamanya.. Sampai suatu saat nanti, di mana Tuhanlah yang akan mengambil alih segalanya.

It's the end.. But endless.. Cause love would live to someone who still believe.. About little thing which still alive although without soul. 

 

by: izzatul azzizah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar