cerpen love
Love is smile. :)
Love is tear. :'(
Love is little light in the darkness.
Love is little hope in the illness.
Love is when you feel can standing right here when rain drops, with
little pieces of heart just because you know, everythings are possible.
You might believe something you want to..
Pertahanan yang telah Karina Virgia bangun sedemikian rupa bisa
runtuh dalam hitungan detik di depan Kevin Aditya, lelaki bertubuh
jangkung dengan rambut spike yang sosoknya selalu ada untuknya. Seumur
hidup, ia tidak pernah secengeng ini didepan siapapun. Karena bagi
Karin, menunjukkan air mata di depan orang lain itu sama saja dengan
menunjukkan sisi lemahnya yang seharusnya tidak diketahui oleh siapa
pun. Sebuah prinsip bodoh yang ia pegang teguh, di mana ia berjanji
hanya di depan bintanglah ia akan menumpahkan segala air mata dan keluh
kesahnya. Di depan bintang yang ia yakini, di sanalah sang mama sedang
mengawasi. Setiap harinya, bersanding bersama sang dewi malam. Namun
prinsip itu seakan-akan runtuh dengan begitu mudahnya kali ini, bersama
butiran air bening yang mengalir turun membelah pipi tirusnya.
Lagi-lagi, dengan tenang dan perlahan, kelima jari Aditlah yang
menghapus butiran bening yang jatuh itu. Di mana hanya di tangan lelaki
itu ia serahkan air mata beserta seluruh kehampaan di dalamnya.
Begitu juga dengan Adit, seolah-olah, rasa sedih itu ingin bisa ia
pindahkan ke tangannya. Betapa ingin ia menopang sendiri rasa sedih yang
dirasakan gadis itu, atau paling tidak, membantunya menopangnya
bersama. Ia tidak ingin gadis yang sangat berarti baginya itu menanggung
segala kesedihan itu seorang diri. Karena, hanya gadis itulah yang
mampu membuatnya membuka mata, mampu membuat kebekuan hatinya perlahan
mencair. Setelah sekian lama.
Detik ini. Mereka berdua. Merasakannya, bersama.
Bukan untuk yang pertama kalinya, seluruh perhatian Adit terkunci
rapat pada wajah sendu yang sepucat kertas milik gadis itu. Seakan-akan
gadis itu mampu menyita seluruh perhatian beserta kesadarannya.
Karin masih merasakannya. Tangan itu, ia yakin tangan seorang
malaikat yang dikirimkan Tuhan dari surga sebagai pertanda akhir
penantiannya. Malaikan yang dikirimkan Tuhan melalui sosok Kevin Aditya.
Namun lagi-lagi, itu tidak semudah yang ia kira. Meski tangan itulah
yang sering kali merengkuhnya dalam dekapan yang mampu membuatnya merasa
aman dari segala ancaman, tangan itu juga yang selalu menghapus habis
segala kepedihannya, tangan itu pula yang selalu menempatkan diri dengan
suka rela menjadi perisai di depannya, tanpa syarat, Karin yakin, ada
satu lagi yang menjadi penghalang. Meski perasaan itu telah berkembang
tanpa mampu ia hentikan. Perasaan yang tumbuh dengan liar hingga
menyeruak memenuhi setiap inci sudut hatinya. Perasaan indah yang
nyatanya begitu menyakitkan bagi siapa saja yang sedang berada dalam
posisi yang sama seperti dirinya. Saat ini.
Karena, satu lagi penghalang yang nyata, Andi Leonard, kakaknya
sekaligus bagian dari masa lalu Adit. Dengan alasan yang begitu kuat,
dengan ego yang terlampau besar, dan segelintir kisah 2 tahun silam,
yang menjadikan "Karin dan Adit", adalah sebait cerita romansa yang
"mustahil". Kini, waktu melahirkan Andi sebagai tokoh penentang yang
benar-benar nyata bagi mereka. Yang mengharuskan mereka tetap berada di
sisi yang berbeda. Yang mengharuskan mereka terkurung dalam penantian
dalam dimensi waktu, yang suatu saat nanti mungkin akan mengasihani
mereka, dan melepaskan belenggunya sekedar untuk membiarkan mereka untuk
tetap bersua.
Mereka bersama, tapi terpisah. Mereka mencintai, tapi dipaksa untuk saling membenci.
Sebuah kenyataan yang benar-benar telak, namun tetap sederhana kalau perasaanlah yang berbicara.
Memang tak serumit kisah Chleopatra dan Mark Anthony, tak sena'as
kisah Abigail dan John Adams, dan tak seindah dongeng Shakespeare Romeo
dan Juliet, namun... Mereka punya kisah mereka sendiri, mereka punya
perasaan yang sama-sama layak untuk diperjuangkan, hingga mampu bermuara
pada akhir yang nyata. Bersatu, atau mungkin tidak sama sekali. -..-"
"biar gue ke Andi ya.. gue bakal jelasin ke dia." bisik Adit sarat
dengan keputus asaan. Karin tau, cowok itu sama lelahnya dengan dirinya,
lelah dengan keadaan ini, lelah dengan semua omong kosong yang
menjadikan mereka terbentang oleh jarak.
Namun lagi-lagi, bayangan Andi yang pernah menghajar Adit tanpa
ampun, seolah-olah mengunci Karin pada keputusan pasti bahwa Adit dan
Andi tidak boleh bertemu lagi. Ia tidak ingin yang minggu lalu itu
terjadi lagi.
"nggak usah.. Kakak gue itu keras kepala Dit. Sama aja lo bunuh diri kalo' lo nemuin dia."
"sama keras kepalanya kayak elo kan..?" dengan wajah sekarat itu,
Adit masih mencoba mengucapkan lelucon kecil supaya wajah pucat di
depannya itu bisa sedikit membersitkan sebuah senyuman. Meski ia tau,
untuk Karin, sekedar tersenyum saja sudah cukup susah setelah semua yang
telah ia lalui.
Dan benar saja, hanya helaan nafas tertahan yang bisa ia lihat sebagai reaksi leluconnya yang sama sekali tidak membantu.
Seperempat detik kemudian, mobil Audi R8 hitam yang dihiasi
spotlight biru menyala mendarat dengan dramatis tepat di depan keduanya
setelah membuat gerakan manuver tajam.
Otak Adit yang bekerja cukup cepat dengan mengenali siapa pemilik
mobil itu langsung menggenggam jemari Karin yang beranjak mendingin.
Kelima jari Adit lalu menuntun Karin untuk ke balik punggungnya. Mencoba
melindungi gadis itu sebelum sang pemilik mobil keluar dan mengamuk
untuk yang kesekian kalinya.
"Rin..!! Cepet masuk mobil..!" perintah cowok berparas campuran
Asia-Jerman dengan lensa mata gradasi antara cokelat dan hitam, yang
baru saja membanting pintu mobil Audi itu. Lensa mata yang indah itu
terlihat sangat menakutkan saat berkilat marah.
Sementara genggaman kelima jari Adit semakin menguat. Seakan-akan
gertakan Andi semakin membuat nyala api dalam dirinya semakin membara,
menyertai tekadnya yang semakin besar untuk memperjuangkan gadis itu. Di
belakang Adit, Karin masih tampak terpengkur, antara sadar dan tidak
sadar. Matanya memandang kosong ke depan dengan wajah pucat yang belum
berubah sejak awal. Wajah itu justru semakin pucat menyadari sosok Andi
yang datang dengan letupan emosi yang begitu besar.
"cepet masuk mobil kalo' lo nggak pengen liat kita berantem lagi..!"
gertakan yang lebih keras dan sarkatis baru saja terlontar dari mulut
Andi. Membuat Karin terkesiap. Keteguhannya seakan-akan goyah. Lantas,
gadis itu melepaskan jemari Adit dengan paksa namun dengan sangat
perlahan pula. Karena sebenarnya, hatinya tak lagi sejalan dengan
rasionya. Di pandangnya wajah yang sempat menautkan alis itu dengan
sayu. Seakan-akan kedua lensa mata hitam pekat itu, menyuruh Karin untuk
tetap di tempat. Di belakangnya. Di mana tempat itulah yang menjadi
tempat yang paling aman untuknya saat ini.
Namun usaha Adit tak berhasil. Karin mulai melangkah gamang mencapai
pintu depan Audi hitam itu. Sementara matanya masih mengawasi ke arah
dua orang pemuda yang kini saling melayangkan tatapan mematikannya.
"biar gue jelasin semuanya.." ucap Adit sarat dengan penyesalan.
"jelasin..? Apa lagi yang mau lo jelasin.. Lo tuh kalo' playboy ya
playboy aja, gak usah pake' ngelibatin adek gue segala. Inget gimana
waktu lo dengan seenaknya ngerebut Vera yang waktu itu jelas-jelas
statusnya adalah pacar gue..? Terus dengan seenaknya lo tinggalin gitu
aja." terang Andi dengan gusar. Kelima jarinya tertarik kedalam dengan
kuat membentuk dua kepalan besar yang siap melukai Adit kapan saja.
"kenyataannya emang gue gak cinta sama Vera Ndi.. Gue nerima dia
cuma atas dasar kasihan dan juga, elo maksa gue kan waktu itu. Lo bilang
lo cinta sama dia, jadi lo pengen dia bahagia meskipun di atas
penderitaan lo sekali pun. Dan sekarang, lo numpahin seluruh kesalahan
itu ke gue. Di mana otak lo..? Gimana jalan pikiran lo..?" perkataan
Adit seakan-akan menyiksa Karin dalam keputus asaannya. Hingga gadis itu
masih tertegun, terpaku di depan pintu mobil dengan mata yang mulai
basah karena lagi-lagi air bening itu keluar tanpa di suruh. Namun kali
ini, tak ada jemari Adit yang bisa menghapusnya, karena Karin tau, ada
yang lebih penting yang harus cowok itu lakukan. Menjelaskan semuanya.
Andi menatap Adit jengah. Seakan-akan penututran Adit tak lagi
berarti baginya. Rahangnya terkatup kuat-kuat saat otaknya mulai
memutarkan sebuah memori silam akan kisah antara dirinya, Vera, dan juga
Adit, yang pernah sempat menjadi sahabatnya dulu. Kala SMA. Sebelum
semuanya berubah, sebelum Adit membuat kesalahan itu.
Buru-buru Andi menyadarkan diri dan menarik jiwanya dari
pengembaraan masa lalu. Dilihatnya lagi lelaki yang berdiri di depannya
dengan lekat.
"bulshit lo.. Sok berhati malaikat kalo' di depan adek gue." Andi
mulai menggila. Cowok itu menarik kerah kemeja Andi hingga punggung
cowok itu terantuk kap mobil dengan keras. Berkali-kali ia layangkan
pukulan demi pukulan ke perut cowok itu tanpa ampun. Dan yang membuat
Karin gusar dan menolak untuk tetap diam adalah karena Adit menerima
setiap pukulan itu. Adit tak pernah mencoba untuk menghindar meskipun
Karin yakin, Adit bisa melakukannya. Adit bisa saja melukai Andi dengan
sangat mudah. Namun kenapa ia hanya diam. Seolah-olah ia memang pantas
menerima perlakuan itu. Apa yang ada di pikiran Adit sekarang..? Melihat
semua itu, tentu saja Karin tidak akan tinggal diam dan menunggu lelaki
yang ia cintai mati di tangan kakaknya sendiri. -_-
"kak Andi..!! Udah, berhenti..!" Karin mencoba merentang jarak antara keduanya.
Kehadiran Karin di tengah mereka justru membuat Andi semakin kalap.
Cowok itu semakin melayangkan pukulan demi pukulan dengan membabi buta.
Hingga sebuah pukulan, tidak sengaja membuat Karin tersentak dan
terhuyung ke belakang. Namun beruntung, lengan Adit yang kokoh dengan
cepat meraih pinggang Karin, hingga cewek itu tidak sampai mendarat
membentur permukaan aspal yang keras.
Situasi yang panas itu sontak membeku. Adit dan Karin masih tetap
bertahan pada posisi itu. Keduanya, sama-sama terluka. Saling memeluk
dan mencoba menopang satu sama lain. Benar-benar seperti potongan sebuah
film romantis.
Mata elang Andi semakin berkilat marah. Bagi Andi, sebuah cinta
tidak akan pernah layak untuk seorang Adit yang jelas-jelas sudah pernah
menghancurkan hati puluhan wanita. Dan ia tidak ingin, adiknya akan
menjadi korban selanjutnya.
"sialan lo Dit..! Lepasin adik gue..!" dengan paksa, Andi menarik Karin dari dekapan cowok itu.
Dan dengan gerakan cepat, lagi-lagi Andi menghujamkan kepalan tangannya ke arah Adit.
Hati Karin benar-benar terluka kali ini. Umpatan-umpatan kekesalan
yang kini berkutat di otaknya, tak tau harus ia tumpahkan kepada siapa.
"udah kak.. Kasihan Adit.. Gue bakalan turutin semua kemauan lo..
Tapi tolong, berhenti..!!" jerit Karin tertahan. Gadis itu terisak
seraya menarik lengan kakaknya. Berusaha menghalau tangan atletis itu
supaya berhenti memukul. Namun, tentu saja usahanya tak membuahkan hasil
yang berarti. Kekuatan Karin memang tidak diciptakan Tuhan untuk bisa
melawan cowok yang besarnya nyaris dua kali lipatnya itu. Sebesar apapun
usahanya untuk membuat Andi berhenti, rasanya tidak akan pernah
benar-benar berhasil. Karena untuk membuat Andi bergeser sedikit saja,
sudah hampir menguras habis seluruh nyawanya. Dan untuk yang kesekian
kalinya, lagi-lagi Karin tersentak cukup kuat ke belakang. Namun kali
ini, tidak lagi sama. Kejatuhan itu tidak seberuntung kejatuhan awal.
Karin terhunyung bersamaan dengan sebuah sedan putih yang melaju ganas
di badan jalan.
Sorotan lampu, dengungan klakson, dan decitan rem yang mengiringi
teriakan seorang cowok yang memanggil namanya dengan jeritan keras
adalah hal terakhir yang ia rasakan sebelum semuanya berubah menjadi
gelap, gelap, dan sunyi. Seakan-akan kehampaan menelannya hidup-hidup.
Kini, semua itu... Tak lagi berarti.. Ini adalah sebuah ujung,
sebuah muara yang merupakan jarak yang terbentang sangat nyata di antara
mereka.
"Karin..!" hati cowok itu berdarah, bersama gadis yang ia cintai
yang kini terbaring lemah dengan bersimpah darah pula. Kedua tangannya
menopang tubuh lunglai itu. Mencoba menunggu, apabila sewaktu-waktu mata
indah itu akan terbuka lagi, dan mengijinkannya untuk merengkuh tubuh
sekaligus jiwanya, untuk yang terakhir kali. Di tengah tetesan air
hujan, yang kini menghujamkan kristal-kristal cairnya yang begitu tajam
tanpa ampun. Butiran bening yang mengalir jatuh dari langit itu, mampu
menyapu bersih darah yang tampak menghiasi wajah yang tertidur tenang
itu. Membuat Adit mampu melihat wajah manis itu dengan cukup jelas.
Untuk yang terakhir kalinya.
Tersisalah seorang lelaki dengan keegoisan besar itu, yang terbunuh
oleh sebuah penyesalan. Kini, ia menangis. Sebuah tangisan penyesalan
yang menjadikannya begitu rendah di mata cinta. Dia bukan siapa-siapa,
namun ia berani menentang keduanya.
Segala penyesalan itu, segala air mata itu, tak akan pernah mampu
membuat gadis itu bangun kembali.. Untuk selamanya.. Sampai suatu saat
nanti, di mana Tuhanlah yang akan mengambil alih segalanya.
It's the end.. But endless.. Cause love would live to someone who
still believe.. About little thing which still alive although without
soul.
by: izzatul azzizah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar