Sabtu, 27 Oktober 2012

Cerpen the second angel (JD)

THE SECOND ANGEL

Mentari yang condong, ragu-ragu untuk segera tenggelam dan merampungkan senja. Sinarnya masih terbersit jingga diantara pucuk-pucuk pohon cemara dan maple yang menjulang tinggi. Sepertinya malam telah mengembang di tempat lain yang jauh.
Di puncak sebuah bukit yang tidak jauh dari keramaian pusat kota Fulham_London, terlihat sepasang remaja yang tengah mengagumi dalam diam, menatap sinar mentari senja yang tampaknya masih ingin berjaga. Sang gadis berkulit putih khas Asia yang terdiam di atas kursi rodanya, tampak memandang sebentar wajah sahabat karibnya yang kabur oleh siraman sinar mentari. Kemudian ia tersenyum.

“liam, kau ingat kata-kataku setahun yang lalu ? saat aku bilang kalau aku takut tidak bisa duduk di sini lagi bersamamu ?” ucap gadis bermata cokelat terang itu.
“tentu saja aku ingat. Bagaimana aku bisa melupakan perkataan bodohmu itu. waktu itu kau hampir putus asa kan ?”
“ya, kau benar. Dan hari ini, detik ini, aku bersyukur bisa ada di sini. Aku masih hidup. Aku bisa duduk di sini bersama sahabatku lagi.” Gadis itu menggengam erat sebelah tangan lelaki itu, seakan-akan sangat merindukan saat-saat seperti ini. Sementara, lelaki bernama liam itu hanya tersenyum, lalu, mengelus rambut gadis itu dengan sayang.
“aku sangat bersyukur, ada orang yang mau mendonorkan jantungnya untukku. Siapapun orang itu, Aku berharap, Tuhan memberikan yang terbaik untuknya. Dia benar-benar berhati malaikat.”ucap gadis itu tulus.
“ya… aku pun berharap begitu.”
Angin sore yang menerpa, membelai halus keduanya. Seakan-akan memberikan isyarat bahwa malaikat sedang mendengar pembicaraan mereka.
Kemudian, sang gadis tersenyum. Mata cokelat terangnya tampak menerawang jauh.
“oia liam… kenapa zayn belum menemuiku ? apa dia belum tau kalau aku sudah pulang dari rumah sakit ? atau mungkin, selama aku koma, dia menemukan gadis lain… jadi, dia sudah tidak mencintaiku lagi.” Sinar mata gadis itu terlihat redup.
liam yang melihat hal itu seakan-akan kehilangan kekuatan terbesarnya. Ia tidak suka melihat wajah oriental itu tanpa senyuman seperti biasanya.
“min chan… jangan bicara seperti itu. Kau tau, saat keadaanmu memburuk di rumah sakit, Zayn lah yang menjagamu. Dialah yang selalu ada di sampingmu. Selama dua hari penuh, dia di rumah sakit, tanpa mengingat pulang. kau tau, Zayn sampai mengancam seorang dokter karena ia ingin dokter berusaha keras untukmu. Zayn sangat ingin kau sembuh, memiliki jantung yang sehat dan…” Liam menghentikan perkataannya. Lelaki itu tampak menelan ludah, mencoba mengendalikan diri di depan gadis itu. Entah mengapa, Liam selalu tampak canggung kalau min chan menanyakan tentang Zayn. Bukan karena ia tidak suka, tapi memang semua hal tentang Zayn adalah kekaguman baginya.

“benarkah Zayn seperti itu ?” ucap gadis itu lirih. Mendengar semua perkataan Liam tentang Zayn, seakan-akan membuat batinnya lega. Ia bahkan tidak menyangka Zayn bisa sekhawatir itu padanya. Kini ia semakin yakin, kalau cinta Zayn bukanlah main-main.
“yeah… dia mencintaimu lebih dari apapun.”
Keduanya terdiam. mereka tampak tengah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hanya suara gemerasak dedaunan yang diterpa angin dan gema kepak sayap yang di tinggalkan burung-burung di udara yang mengiringi suasana sore yang dingin ini.
“sudah mulai petang, ayo kita pulang !” ucap Liam seraya bangkit dari duduknya dan meraih gagang kursi roda gadis itu untuk mengajaknya segera pergi meninggalkan bukit.
“Liam, apa menurutmu Zayn akan segera menemuiku.” Ucap gadis itu seraya mendongok ke atas memandang wajah lelaki di belakangnya. “mungkin saja.”
***
Seorang gadis bermata cokelat tarang melangkahkan kaki jenjangnya dengan cepat menelusuri koridor utama Fulham University. Ini hari pertamanya kembali ke universitas setelah ia absen selama 6 bulan. Ia mengayunkan setiap langkahnya dengan perasaan gelisah yang teramat sangat. Di ujung koridor, dilihatnya seorang lelaki jangkung tampak sedang bercanda dengan rekan-rekannya yang tak lain adalah anggota one direction.
“Liam…!!” teriak gadis itu seraya mempercepat langkahnya.
“hei… ada apa ? kenapa kau melihatku seperti itu ?”
“sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Di mana Zayn ? kenapa tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaanku soal Zayn ?” ucap gadis itu seraya meninju perut sahabatnya pelan. Mata cokelatnya berkilat marah. Kedua tangannya mengepal seakan-akan siap menonjok hidung runcing lelaki itu kapan saja.
Sementara, Liam hanya terdiam. lelaki itu menatap rekannya sebentar, kemudian kembali menatap gadis di depannya.
“ayo ikut aku…!” Liam menarik lengan Min chan dan mengajakanya meninggalkan keramaian. Keduanya tampak berjalan dalam diam, menerobos liku-liku koridor yang mereka lewati. Sikap diam Liam sangat membuat Min chan tidak nyaman. Sebenarnya apa yang ia sembunyikan darinya ? apa ia mengetahui di mana Zayn sebenarnya ?
Sesampainya di taman belakang, keduanya berhenti. Liam mengeluarkan sebuah amplop berpita biru dari dalam sakunya. Kemudian, ia menyerahkannya pada gadis itu. “Zayn ingin aku memberikan ini padamu saat kau sudah siap.” Ucap lelaki itu lemah.
Min chan menerima amplop itu dengan canggung. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya permainan apa lagi yang mereka persiapkan setelah sukses dengan permainan akan cinta yang sudah mereka lakukan pada Min chan.
Min chan menatap Liam sebentar sebelum akhirnya membuka amplop di tangannya. Setelah itu, matanya benar-benar tertuju akan tulisan rapi milik Zayn yang tertulis pada kertas di dalamnya.
Dear Min chan…
Sebelumnya aku minta maaf kalau kau tidak menyukai caraku. Apa kau merindukanku ? kalau iya, percayalah, aku di sini juga sangat merindukanmu. Oia, aku minta maaf kalau awalnya aku mencintaimu karena paksaan. Aku hanya berusaha mengikuti permainan yang dibuat oleh si bodoh Liam. Aku tidak bisa menolak saat Liam menyuruhku untuk menjadi kekasihmu karena dia bilang kau sakit dan, kau sangat mengagumiku. Jadi dia pikir, itu sangat membantumu untuk tetap semangat kembali memperjuangkan hidup. Tapi percayalah Min chan. Ucapanku masih sama seperti malam terakhir kita bertemu sebelum kau pingsan dan koma di rumah sakit. Waktu itu aku bilang aku mencintaimu bukan karena paksaan, aku mencintaimu karena kau sudah membukaakan mataku akan hidup yang sebenarnya. Aku banyak belajar darimu melalui kesederhanaan, ketulusan, dan kasih sayangmu. Bukan kasih sayang dari orang tuaku yang hanya berupa uang semata, yang benar-benar hampir membuatku gila dan berpikir untuk segera mengakhiri hidup.
Sudahlah, lupakan masalah itu. Mari kembali ke masalah awal. Kau pasti bertanya-tanya akan keberadaanku bukan ? yang kau harus tau Min chan, di mana pun aku sekarang, aku pasti sedang sangat bahagia. Kau tau kenapa ? karena aku bisa melihatmu kembali tersenyum. Kau tau, senyumanmu itu, walau pun sederhana, tetap saja sangat besar nilainya. Kau tau bagaimana perjuangan Liam untuk mendapatkan senyumanmu kembali ? ia benar-benar berusaha keras seakan-akan dunia bisa kiamat kalau senyumanmu hilang. Baiklah, itu terlalu berlebihan. Tapi memang begitulah nyatanya. Seharusnya kau tau, cinta Liam sangat besar kepadamu. Aku bisa melihatnya dari bagaimana caranya ia memandangmu, dari bagaimana caranya ia memohon-mohon padaku untuk mau jadi kekasihmu, dari bagaimana caranya ia merelakanmu untukku hanya sekedar ingin melihatmu kembali tersenyum. Kau taukan, betapa sakitnya melihat seseorang yang kau cintai bahagia bersama orang lain ? itulah yang dia rasakan. Aku bahkan sempat berfikir kalau dalam diri Liam terdapat jiwa seorang malaikat. Namun, kau tidak pernah menyadari itu. Taukah kau apa yang menjadi alasan bagi Liam untuk kuliah kedokteran ? karena dia pikir, dia bisa menjadi dokter dan bisa menyembuhkan jantungmu kelak. Percayalah Min chan, aku mengenal Liam sejak lama. Baginya tak ada hal yang lebih memuakkan dibandingkan dengan pekerjaan di rumah sakit. Tapi itu sebelum mengenalmu. Setelah ia mengenalmu, aku rasa ada yang membalik otak anak itu sehingga ia mau dan berusaha keras untuk menjadi seorang dokter.
Baiklah, aku rasa cukup bicara tentang Liam. Oia, Sedang apa kau sekarang ? apa suratku yang panjang ini banyak menyita waktumu ? kalau kau berpikir begitu, kau bisa membuang surat ini sekarang juga. Tapi kalau kau masih tertarik untuk membaca, maka lanjutkan. Min chan, selama 5 tahun aku, kau, dan Liam bersahabat, aku tidak menyangka akan seperti ini akhirnya. Percayalah, ini adalah sebuah akhir yang sangat indah bagiku. Kalian berdua adalah harta termahal yang pernah kumiliki. Liam sudah ku anggap seperti adikku sendiri, sementara kau, kau adalah kekasih sekaligus penerang dalam hidupku. Sejak kau hadir, aku mulai bisa merasakan artinya hidup. Seperti katamu, meski hidup manusia tidaklah lama, kita harus tetap membuatnya mejadi sangat berarti. Itu artinya kita tidak boleh menyia-nyiakan hidup bukan ? dan aku rasa, aku sudah berhasil melakukannya. Aku menamukan jalanku. Maaf kalau aku pergi terlalu cepat. Percayalah, aku tidak pernah menyesal melakukannya.
Meski aku tidak bersamamu, aku tidak perlu menghawatirkanmu, karena… aku tau, kau sudah bersama guardian angel yang tepat.
Kuharap kau bisa bahagia dengan jantung yang ku tinggalkan untukmu.
Zayn.

Mata gadis itu membulat seketika. Ia masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Penglihatannya mulai kabur oleh air mata yang memenuhi kelopak matanya. Gadis itu bisa melihat Liam yang bangkit dari duduknya lalu mulai berjalan ke arahnya.
“apa maksudnya ini Liam…?” Min chan mengayun-ayunkan secarik kertas itu di depan muka Liam.
Sementara lelaki itu hanya terdiam. manik mata cokelatnya terlihat redup.
“plakk…”
Sebuah tamparan keras baru saja mendarat di pipi Liam. Min chan benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Gadis itu mulai terjatuh, ia terduduk di atas rerumputan basah dengan memeluk secarik kertas itu, seakan-akan ia bisa menemukan jiwa Zayn di dalamnya.
“Min chan, maafkan aku.” Liam ikut terduduk. Ia tatap wajah sayu gadis itu yang berlinang air mata. “aku memang bodoh.” Ucapnya lagi.

***

Sejak Min chan mengetahui yang sebenarnya soal Zayn, gadis itu tampak lebih sering mengurung diri di kamar. Ia benar-benar sulit menerima semua ini. ia selalu mengutuk detik-detik yang selalu bergulir tanpa memberinya jeda sedikit pun. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan setelah ini. ia juga belum ingin bertemu Liam setelah ia menerima dan membaca surat itu. Min chan tau ini tidak adil bagi Liam, tapi ia benar-benar tidak suka dengan semua ini. kenapa Zayn…? Kenapa harus dia…?
***

Malam ini, Min chan mencoba untuk tidur. namun, meski matanya terpejam, angannya masih tetap melayang. Ia tidak mampu mengistirahatkan pikirannya. Batinnya selalu saja dipenuhi penyesalan akan Zayn.
Min chan mulai menyibakkan selimut tebalnya dan bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah kecil, gadis itu menuju meja rias bercermin besar di sudut kamarnya. diraihnya secarik kertas dari laci meja kayu di depan cermin tersebut. Sekali lagi, ia memperhatikan tulisan rapi milik Zayn di sana. Betapa ia sangat merindukan lelaki itu sekarang. Andai waktu bisa diputar, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Meski ia harus meregang nyawa, itu tak masalah. yang terpenting baginnya, ia tidak perlu melihat Zayn harus mengambil langkah bodoh itu hanya karenanya.
Setelah itu, gadis itu mulai memandang pantulan dirinya di cermin. Ia bahkan tak pernah menyadari betapa kacaunya dirinnya sekarang. Tiba-tiba, Min chan melihat bayangan seorang lelaki di belakangnya dari pantulan cermin itu. cepat-cepat Min chan menoleh. Bayangan seorang lelaki jangkung yang kabur oleh pupur putih sinar rembulan mulai terlihat jelas olehnya. Dan apa yang dilihatnya sekarang benar-benar mustahil. Ia melihat sosok orang yang sangat ia rindukan di sana. sosok itu tersenyum, manik mata beningnya yang redup memandang min chan dengan teduh. Sayap indah malaikat tampak mengembang dari balik punggungnya.
“Zayn…”
“tolong jangan buat semua ini sia-sia. Tersenyumlah. Aku tidak pernah pergi darimu.” Ucap lelaki itu tanpa memudarkan senyumannya sedikitpun.
Perlahan, Min chan melangkahkan kakinya untuk mendekat. Hingga dilihatnya wajah zayn dengan sangat jelas. Gadis itu mulai mengulurkan tangannya berusaha untuk menyentuh zayn, mencoba untuk menemukan sisi nyata dari kejadian mustahil ini. Zayn pun melakukan hal yang sama. Sampai akhirnya, tangan mereka saling bertemu. Zayn menggenggam erat jemari gadis itu.
“aku tidak pernah meninggalkanmu dear.. Aku berada di setiap setak jantungmu.. berjanjilah kau akan bahagia untukku.”
Min chan hanya bisa menggangguk. Ia benar-benar tidak mampu mengucapkan apa pun. Baginya, dengan melihat zayn saja, semuanya menjadi lebih dari cukup.

“min chan… min chan… bangun, kau harus makan. Kau belum makan sejak kemarin….!!” Suara seorang wanita muncul dari balik pintu kamar Min chan.
Perlahan, Min chan mulai membuka matanya. Ia masih berusaha mengumpulkan nyawanya dari tidur nyeyaknya. “iya ma…” cercau gadis itu seraya mencoba bangun.
“jadi semua ini hanya mimpi…” pikir gadis itu seraya tersenyum tipis. “sudah kuduga…” gerutunya pelan.
Min chan berjalan gontai menuju meja riasnya. Tiba-tiba sebuah benda putih seputih salju menyita perhatiannya. Jemari lentiknya mulai meraih benda itu. “bulu sayap malaikat.” Cercaunya seakan-akan menyadari sesuatu. Sudut-sudut bibirnya kembali terangkat membentuk sebuah senyuman, sebuah senyuman yang telah lama hilang sejak kepergian Zayn.
***
Seorang gadis tengah duduk bersandarkan sebuah pohon maple besar di puncak bukit. Rambut panjangnya yang terjuntai menari-nari oleh sapuan angin sepoi. Bau rerumputan basah mengiringi sinar mentari yang kian hangat menyentuh kulit. Gadis berkulit putih itu sesekali tersenyum mengingat masa lalunya. Masa lalu yang dipenuhi canda dan tawa dan kekonyolan dua orang remaja yang selalu mengiringi hari-harinya. ia bahkan sempat berpikir, mungkin akan menyenangkan apabila masa lalu itu bisa dibekukan. Supaya ia bisa menghidupkan masa lalu itu sewaktu-waktu.
Tiba-tiba, seorang lelaki muncul dari balik pohon yang disandari Min chan. Lelaki berambut cokelat itu tampak terkejut melihat keberadaannya. “min... Chan…”
min chan yang terhenyak kaget lalu mendongok ke atas untuk memandang tubuh jangkung lelaki itu.
“hei… Liam… kebetulan sekali.”
“bagaimana kabarmu…? Sudah lebih baik ?”
“yeah… kupikir ini saatnya membuka hatiku untuk orang lain.”
“maksudmu…?” ucap lelaki bernama Liam itu seraya memicingkan matanya.
“apa kau menyukaiku…?”
“apa…? Aaaaku… bicara apa kau…?”
“liam, aku serius. apa kau mencintaiku…? Kalau memang iya, katakana saja. Atau kalau tidak…”
“kalau tidak kenapa…?”
“kalau tidak, aku akan menyuruh zayn untuk menghajarmu.”
“apa…? Baiklah. Sepertinya memang tak ada pilihan lain… park min chan, aku memang mencintaimu. Aku mencintaimu sejak kau muncul dan mengacaukan pikiranku. Dan aku tidak pernah memiliki waktu yang tepat untuk mengatakannya. Maafkan aku. Aku benar-benar pengecut.”
“hahaha… setidaknya aku menemukan sisi baikmu…”
“apa…?”
“kau pasti akan setia, karena aku tau, kau adalah seorang pengecut… hahaha…”
“apa kau bilang…?” liam meraup tubuh mungil min chan ke dalam dekapannyanya. Sementara gadis itu tampak terjingkat-jingkat menghindari pelukan erat Liam. Namun sedetik kemudian, ia terdiam, menikmati dekapan hangat lelaki itu.
Membiarkan angannya melayang sejenak, bersama hadirnya guardian angel keduanya.

Life like there’s no tomorrow
Cause all we have is here right now
Love like it’s all we know,
the only truth that we ever found.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar